Kamis, 07 Oktober 2010

Tarik-Menarik antara State dan Market dalam Sejarah Perekonomian Indonesia

State dan market merupakan kedua instrument yang tidak dapat dipisahkan. Mereka selalu dan mau tidak mau memiliki hubungan erat dengan kelangsungan hidup suatu bangsa. Kehadiran pasar tanpa adanya intervensi pemerintah bisa menimbulkan banyak kegoncangan dan kecurigaan. Pasar bisa mengeksploitasi rakyat yang tidak memiliki modal, memperlakukan mereka selayaknya budak, serta membayar upah mereka dengan sangat minim. Namun negara pun tidak bisa terbangun tanpa adanya kehadiran pasar. Pemerintahan tunggal yang memegang kendali atas suatu negara dapat bertindak seenaknya dalam rangka memakmurkan para petingginya. Rakyat justru makin disengsarakan karena adanya hak memonopoli kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah. Karena itulah keberadaan pemerintah juga harus diimbangi dengan institusi-institusi swasta yang dimiliki oleh rakyat agar tercipta suatu keseimbangan yang menguntungkan semua pihak, baik rakyat, negara maupun pasar itu sendiri.

Lain cerita bila terjadi kartel antar state and market dengan membentuk suatu mekanisme yang menguntungkan kedua belah pihak. Markets cannot play a dominant role in the way in which a political economy functions unless allowed to do so by whoever wields power and possesses authority.[1] Hal ini sering menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat. Mengapa Indonesia selalu mengimpor beras padahal hasil padi melimpah? Mengapa Tukirin sang petani Jagung harus diadili karena penemuan bibit unggulnya? dan mengapa semakin meluasnya lumpur Lapindo justru ditetapkan sebagai bencana alam oleh parlemen? Hal inilah yang harus dihindari dan diwaspadai manusia sebagai homo ethicus bukan hanya homo economicus.

Sepanjang sejarah perjalanannya selama 64 tahun, Indonesia telah banyak mengalami gejolak perekonomian dalam berbagai masa kepemimpinan. Jika 64 tahun dirasa belum cukup, maka boleh-boleh saja mengangkat kembali masa lalu kelam Republik ini saat berada di bawah penjajahan Portugis, Belanda, Inggris, ataupun Jepang. Dan memang benar, masa pendudukan asing di Indonesia yang terlalu lama, hampir 4 abad lamanya, ternyata masih bisa kita rasakan dampaknya sampai saat ini, dan bahkan lebih kuat dibanding apa yang telah negara ini cita-citakan sejak merdeka.

Masih segar dalam ingatan kita akan cultuurstelsel (sistem tanam paksa) yang diterapkan oleh pemerintah Belanda tahun 1830-an. Para pribumi dipaksa menjadi kuli bagi tanahnya sendiri, dipaksa untuk menanam tanaman yang laku dijual oleh pemerintah Belanda. Setelah masa cultuurstelsel berakhir, lantas diberlakukan sistem ekonomi pintu terbuka (liberal), dimana golongan swasta kapitalis mulai masuk ke Indonesia, mereka mengelola perkebunan swasta dan orang-orang pribumi lah yang menjadi petani garapnya. Sistem ini justru semakin menyengsarakan rakyat, kehidupan para pemilik modal sebagai inti yang makmur dan sejahtera sangat berkebalikan dengan para plasmanya yakni petani kontrak dengan upah yang sama sekali tidak manusiawi.

Setelah Belanda keluar, rakyat merasakan perubahan struktural yang cukup significant dalam sistem pemerintahan Jepang yang sama sekali berbeda dengan Belanda ataupun Inggris yang terlebih dahulu masuk sebelumnya. Pemerintah Jepang cenderung berkiblat ke arah sosialis, dimana kepentingan prajuritnya lah yang paling diutamakan untuk mendukung perjuangan mereka di perang Pasifik. Segala hal diatur dari pusat untuk kesejahteraan rakyat Jepang yang dianggap akan meningkat setelah memenangkan perang. Tidak ada kaum kapitalis pada zaman ini, meskipun demikian Jepang hanya memperbolehkan rakyat menanam jarak untuk keperluan perangnya.

Karena adanya perbedaan sistem ekonomi yang pernah singgah di Indonesia, ketika merdeka cukup sulit untuk menentukan sistem mana yang paling tepat untuk diterapkan. Oleh karena itu, Indonesia mengambil sisi positif dari kedua sistem tersebut yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945, dimana dipaparkan bahwa perekonomian merupakan usaha bersama yang berasakan kekeluargaan, pihak swasta boleh masuk ke dalam pasar, tetapi cabang-cabang perekonomian yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tetap dikuasai oleh negara.

Namun dalam praktiknya, pemerintah masih meraba-raba kemana ekonomi Indonesia akan dibawa, sehingga terjadilah beberapa penyimpangan sejak orde lama hingga sekarang.

Saat pasca kemerdekaan (orde lama), inflasi sangat tinggi akibat beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali karena pemerintah belum sepenuhnya menata kembali perekonomian pasca penjajahan. Maka negara mengadosi teori-teori mahzab klasik yang memegang kuat prinsip-prinsip liberalisme, politik ekonomi laissez faire yang berasal dari paham Adam Smith ,Jean Batiste Say, Malthus dan David Ricardo.

Pada masa demokrasi liberal ini (1950-1959), perekonomian diserahkan kepada pasar karena pemerintah percaya dengan adanya ‘the invisible hand’ yang akan membuat semua mekanisme perekonomian berjalan lancar sesuai teori Adam Smith dalam Wealth of Nations. Namun ternyata rakyat pribumi yang masih buta akan pasar, apalagi ketika harus dihadapkan dengan competition, belum siap untuk bersaing dengan para pengusaha China yang memiliki modal kuat dan keahlian yang tinggi. Akibatnya perekonomian dikuasai oleh pihak-pihak tertentu dan masyarakat kembali menjadi kuli untuk tanah mereka sendiri, kembali merasa terjajah, menjadi lebih miskin dan sengsara. Sementara kesenjangan sosial semakin melebar.

Merasa salah mengadopsi western economic system, pemerintah berbalik 180O dengan mengadaptasi sistem sosialis yang dulu pernah diterapkan oleh Jepang. Dengan mahzab sosialis aliran Lauderdale, Sismonde, Carey, Muller, List, Bastiat dan John Stuart Mill ini, diharapkan perekonomian dapat membawa kesejahteraan bagi rakyat. Masa ini disebut masa demokrasi terpimpin (1959-1966). Namun kenyataannya sistem ini pun masih tidak cocok dengan karakteristik rakyat. Akibat kebijakan devaluasi yang keliru, rupiah mengalami penurunan nilai besar-besaran. Hal ini mengakibatkan rakyat marah dan akhirnya jatuhlah masa pemerintahan Ir. Soekarno pada tahun 1966.

Seteleh orde lama runtuh, muncullah zaman orde baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto. Pada masa ini pemerintah menyadari bahwa Indonesia tidak dapat mengadopsi sistem liberal ataupun sosialis secara utuh, namun dibutuhkan penyesuaian terhadap karakter bangsa Indonesia sendiri yang memegang teguh ideologi Pancasila. Maka diterapkan suatu sistem ekonomi campuran yang mengambil sisi positif dari kedua sistem terdahulu dengan kembali berkiblat pada pasal 33 UUD 1945 yang merupakan kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Disini ditegaskan bahwa state dan market tidak harus berada pada dua sisi yang berbeda. Sistem ekonomi campuran membuktikan bahwa terkadang market memerlukan campur tangan dari state agar keadaan ekonomi tetap berjalan seimbang. Di era orde baru, perekonomian mulai membaik meskipun pada awalnya sempat terjadi inflasi tahunan sebesar 650%. Pemerintah berusaha memperbaiki perekonomian dengan cara meningkatkan sektor riil dengan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. Sayangnya biaya untuk melakukan pembangunan ini, sebagian besar merupakan pinjaman dari luar negeri, hal ini diperparah dengan adanya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan birokrat sehingga pembangunan sebenarnya hanya terlihat dari luar, namun pembangunan moral yang sebetulnya lebih penting tidak terealisasi, akibatnya Indonesia mengalami guncangan hebat yang merupakan imbas dari krisis moneter tahun 1997, sehingga pada 1998 orde ini jatuh setelah 32 tahun berkuasa.

Keruntuhan masa orde baru digantikan oleh orde reformasi dengan presiden BJ Habibie. Sayangnya Habibie gagal memperoleh kepercayaan rakyat karena dianggap masih merupakan antek orde lama sehingga tidak sampai satu tahun berkuasa, KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) menggantikan posisinya sebagai Presiden. Namun dibawah kepemimpinan dua presiden tersebut, belum tampak adanya perbaikan ekonomi yang significant. Padahal masih banyak masalah yang merupakan warisan dari orde baru seperti inflasi, KKN, dan nilai tukar rupiah yang semakin merosot. Rakyat pun kembali menuntut pergantian pemimpin.

Tahun 2002 Megawati Soekarno Putri sebagai wakil Presiden diangkat menjadi Presiden menggantikan Gusdur. Pada masa kepemimpinannya stabilitas ekonomi mulai positif dan pemerintah menunjukkan itikad baiknya terhadap perbaikan situasi negara melalui pendirian KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Namun ada suatu hal yang menjadi kontroversi saat itu, yakni adanya privatisasi BUMN. Keputusan ini banyak dinilai masyarakat sebagai suatu langkah menuju neoliberal, padahal ideologi kita sama sekali tidak mengarah kesana. Hal ini jelas-jelas melanggar pasal 33 UUD 1945, dimana seharusnya cabang-cabang perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Neoliberalisme sendiri yang pertama kali diperkenalkan melalui Washington Consensus oleh John Williamson (1994) saat terjadi krisis di negara-negara Amerika Latin sesungguhnya mengemukakan tiga pilar penting dari sepuluh kebijakan yang dihasilkan. Yang pertama kebijakan fiscal yang disiplin dan konservatif, kedua privatisasi BUMN, dan ketiga liberalisasi pasar atau market fundamentalism (lihat Stiglitz 2002 : 53).[2] Berbicara tentang fiscal sebenarnya merupakan suatu kebijakan yang patut dipertimbangkan, mengingat penerimaan negara sebagian besar memang berasal dari pajak, selain itu pemungutan pajak juga berorientasi pada income distribution. Namun kedua pilar terakhir inilah yang menjadi sumber utama kontroversi, yakni privatisasi BUMN dan market fundamentalism, karena keduanya dinilai bertentangan dengan konstitusi Indonesia.

Masa pemerintahan Megawati berakhir dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu 2004 dimana untuk pertama kalinya rakyat memilih secara langsung presiden dan wakil presiden. Di masa pemerintahan SBY banyak kebijakannya yang menimbulkan kontroversi antara lain dikuranginya subsidi BBM dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada rakyat miskin sebagai kompensasi kenaikan harga BBM yang disebabkan oleh naiknya harga minyak dunia. Namun kebijakan pemberian BLT ini sesungguhnya sangat tidak supportive terhadap kesinambungan kemakmuran rakyat. Mereka seolah diajari untuk meminta-minta. Bukannya membangun lapangan kerja yang secara langsung dapat meningkatkan kesejahteraan tapi justru mengajarkan rakyat untuk hidup dari bantuan orang lain. Give a man a fish and you feed him for a day, teach him how to fish and you feed him for a lifetime.[3] Akibat BLT ini angka kemiskinan justru meningkat karena banyak rakyat yang sebetulnya sudah hidup cukup namun tetap ingin mendapat BLT.

Dari sejarah perekonomian Indonesia, kita dapat melihat bahwa pelan-pelan bangsa ini telah belajar banyak hal dengan maha pengalaman yang begitu dahsyatnya, terutama dalam menghadapi gejolak ekonomi. Contohnya saat krisis moneter tahun 1997 yang diawali dengan krisis di negara-negara Amerika Selatan. Krisis ini menyebabkan mereka kehilangan kepercayaan kepada negara-negara Asia Timur seperti Thailand dan Korea Selatan lantas serta merta menarik uangnya yang berefek domino terhadap negara di kawasan Asia lainnya termasuk Indonesia. Saat itu nilai tukar rupiah melemah tajam sehingga perusahaan yang memiliki hutang dalam bentuk dolar kelabakan, banyak orang berspekulasi dengan membeli dolar yang menyebabkan nilai rupiah semakin ambruk. Inflasi rupiah pun semakin tidak terkendali, sementara itu harga pangan semakin melonjak tajam.

Sesungguhnya kejadian tersebut menjadi pelajaran yang teramat berharga bagi Indonesia. Terbukti saat krisis subprime mortgage yang menyerang Amerika Serikat pada pertengahan 2006, Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di Asia yang growth-nya masih positif. Hal ini tentunya tidak terlepas dari sektor informal yang memegang hampir 70% kegiatan perekonomian di negara ini, sementara krisis global lebih berdampak kepada pasar financial yang hanya dimiliki sektor formal dengan porsi 30% di Indonesia.

Menyoroti kedua krisis diatas, peran state dan market ternyata memang sangat diperlukan. State mengintervensi perekonomian dengan kebijakan-kebijakannya, antara lain menurunkan tingkat suku bunga agar kegiatan investasi terdorong maju, menjaga likuiditas perbankan agar kepercayaan nasabah tetap terjaga, serta menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar. Tentunya mengambil suatu kebijakan ekonomi bukanlah suatu perkara yang mudah. Ada berbagai hal yang harus ditimbang untuk membuat suatu kebijakan yang dapat diterima oleh semua kalangan. Kemajemukan bangsa Indonesia pun kian mempersulit para pembuat kebijakan untuk menetapkan suatu keputusan yang dirasa ‘pas’ bagi seluruh lapisan masyarakat.

Tidak hanya peran pemerintah yang dibutuhkan dalam menghadapai berbagai krisis ekonomi di Indonesia, peran pasar sendiri pun memegang porsi yang cukup besar bagi masalah penanganan krisis ini. Tanpa adanya pasar, pemerintah akan kesulitan memasok bahan pangan dan kebutuhan lainnya bagi masyarakat, pasar juga berperan besar dalam pembangunan, terutama pembangunan infrastruktur yang menyerap banyak lapangan kerja. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pasar dan negara sebagai lembaga ekonomi, kedua komponen ini harus selalu bisa berjalan beriringan agar tercapainya suatu keadaan yang stabil dan mantap.

Fenomena pertentangan antara pasar dan negara menjadi sebush issue ekonomi yang tidak pernah ada akhirnya. Selama masih ada dunia barat yang setia dengan paham neolibnya, juga selama masih ada dunia timur yang cenderung berkiblat pada ketetapan negaranya, market vs state akan selalu menjadi perdebatan sepanjang sejarah kehidupan manusia.

Markets are studied in economics on the assumption that they are not going to be disrupted by war, revolution or other civil disorders.[4] Dalam konteks ini, kita bisa melihat kecenderungan berkembangnya pasar dalam negara-negara yang berpaham liberal daripada negara-negara berkembang yang cenderung mengambil paham ekonomi jalan tengah ataupun sosialis terpusat. Walaupun pada kenyataannya, tidak semua negara yang berkiblat pada neoliberalisme melupakan peran negara begitu saja. Coba tengok Amerika Serikat yang begitu bangganya menyandang paham neolib ini, seperti dalam pidato George W. Bush di Monterrey, Mexico tanggal 22 Maret 2002 “… The concept of ‘free trade’ arose as a moral principle even before it became a pillar of economics. If you can make something that others value, you should be able to sell it to them. If others make something that you value, you should be able to buy it. This is real freedom, the freedom for a person - or a nation - to make a living …”[5] atau baru-baru ini masih membuktikan bahwa Amerika tetap setia akan paham neoliberalismenya seperti yang telah beberapa kali dikemukakan secara terbuka oleh Bernanke (Ketua The Fed) bahwa Ia adalah seorang penganut pasar bebas sejati, contohnya antara lain mengenai wacananya tentang perekonomian China yang luar biasa, pandangan-pandangannya tentang globalisasi serta mobilitas modal internasional sebagai karakteristik dasar rezim moneter yang diinginkan.[6] Toh pada krisis global lalu, pemerintah AS juga melakukan bail out senilai US$ 700 milyar. Ini mengindikasikan bahwa suatu negara tidak bisa sepenuhnya mengadopsi satu ideologi walaupun ideologi tersebut telah dipakai selama ratusan tahun. Kemana perginya the invisible hand-nya Adam Smith ketika krisis terjadi? Teori yang tidak pernah terbuktikan bila pasar mampu mengoreksi keadaannya sendiri saat sedang terjadi failure. Sekali lagi, toh pada kenyataannya pemerintah yang lebih berperan dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi di negeri yang dijaga oleh lebih dari 50 peraih nobel ekonomi itu.

Namun, kita juga tidak dapat serta merta menganggap negara-negara yang sangat fanatik terhadap nasionalismenya adalah negara yang memiliki sistem ekonomi terbaik. Sebut saja China yang sangat mantap dengan paham sosialisnya dimana negara mengatur hampir keseluruhan kegiatan perekonomian disana, tapi pada kenyataannya belakangan ini sangat sibuk dengan kegiatan free trade untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dengan populasi rakyat nomor satu di dunia. Tentunya China sangat paham bahwa dengan adanya pasar bebas mereka dapat menjadi raja di perdagangan dunia.

Zaman sekarang, tampaknya neoliberalisme, liberalisme, kapitalisme, atau apapun namanya, sudah sangat jarang ditemukan pure di suatu negara. Tentu karena orang semakin pintar, karena mereka tahu bila sebenarnya paham ini justru membawa perubahan ke arah yang lebih negatif. Itu artinya, bila paham ini terus diterapkan, maka akan terjadi degradasi ilmu, moral, maupun kondisi sosial masyarakat. State dan market memiliki kepentingan yang sama, jika state ingin memakmurkan rakyatnya, maka market ingin memakmurkan dirinya sendiri. Ada satu irisan disana, makmur. Inilah yang membuat keduanya selalu saling berhubungan.

State dan market terus tarik menarik walaupun zaman telah modern. Meskipun secara eksplisit state dan market telah menjadi suatu kepaduan yang saling ketergantungan, namun ternyata, watak self-interest tidak bisa hilang begitu saja. Berabad-abad mereka dicekoki dengan ilmu memperkaya diri, menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya, doktrin bahwa harta adalah martabat, dan tentu mereka tidak ingin kehilangan surgawi dunia begitu saja. Maka timbullah penjajahan bentuk baru di dunia ini. Bukan lagi kolonialisme seperti yang dilakukan Belanda selama 3.5 abad kepada kita, ataupun romusha yang Jepang paksakan kepada nenek kakek kita, tapi suatu bentuk pencucian otak pada generasi muda yang bersembunyi di balik nama agung ‘globalisasi’ dan di bawah panji tombak free competition.

Mungkin secara langsung kita tidak sadar bahwa kita telah berada pada masa penjajahan tahap 5 setelah Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Penjajahan yang lebih menyakitkan dan merupakan bentuk penghinaan terhadap suatu negara yang telah berdiri tegak selama 64 tahun.

Penjajahan ini masuk secara perlahan, menelusup ke dalam otak dan hati kita, lama-kelamaan melebar dan menghapus semua memori sejarah kepahlawanan kita. Kian lama kita menjadi kecanduan, ketergantungan, bahkan merasa butuh akan mereka.

Keadaan ini tidak dapat terus-menerus kita pelihara. State harus senantiasa menjaga arus negatif globalisasi yang bisa membawa market menjadi salah satu unsur penghambat pembangun bangsa, melainkan sebagai suatu kesatuan faktor pendukung kemajuan negara yang tetap stabil dan akan terus dipertahankan.

State dan market yang berjalan beriringan di Indonesia merupakan cerminan ideologi bangsa yang mengutamakan kebersamaan dan kekeluargaan (mutualism and brotherhood). Keduanya merupakan unsur yang sama pentingnya, oleh karena itu kerja sama dan sikap saling mendukung antara state dan market harus tetap terjaga dan berkesinambungan. Dengan begitu, Indonesia dapat menghadapi segala ancaman yang ada di hadapannya, baik arus globalisasi dari luar, maupun batu-batu kerikil dari dalam.

Sudah saatnya kita melakukan pembangunan Indonesia, bukan pembangunan di Indonesia.[7]



[1] Susan Strange, States And Markets, Pinter Publishers, 1994

[2] Boediono, Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana?, Freedom Institute, 2009

[3] Lao Tzu

[4] Susan Strange, States And Markets, Pinter Publishers, 1994

[5] Sri-Edi Swasono, Mutualism And Brotherhood, UNJ Press, 2005

[6] Johan Van Overtveldt, Benanke’s Test Drama Bankir Bank Sentral, PT Gramedia Pustaka Utama, 2009

[7] Kutipan pernyataan Prof. Sri Edi Swasono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar