Kamis, 07 Oktober 2010

Strategic Action Unilever dalam menghadapi P & G

Melihat adegan menggoda Ariel dan Luna Maya dalam iklan sabun Lux yang baru-baru ini muncul, atau pasangan awet yang membuat iri, Memes dan Addie MS dalam iklan Pond’s Age Miracle, sampai cerita keluarga harmonis yang selalu berbagi kebahagiaan dengan teh Sariwangi, mungkin hanya sebagian kecil bentuk gambaran “kesempurnaan” yang ditawarkan Unilever melalui produk-produk unggulannya. Perusahaan Eropa yang telah lama bergerak dalam bisnis home and personal care product ini, telah didirikan di Indonesia sejak tahun 1933. Maka tidak diragukan lagi jika PT Unilever Indonesia Tbk telah berhasil meraih posisi market leader di Indonesia untuk kategori produk-produk perawatan rambut, wajah dan tubuh.

Unilever Indonesia unggul dengan brand-brand andalannya dalam kategori personal care product seperti Sunsilk, Lifebuoy, Clear dan Dove untuk produk perawatan rambut, produk perawatan wajah seperti Pond’s, Citra dan Vaseline, produk perawatan tubuh dan gigi seperti Lux, Dove, Lifebuoy dan Pepsodent, serta parfum dan deodorant seperti Axe dan Rexona. Unilever juga unggul dengan brand-brand home care product-nya seperti Rinso, Molto, dan Sunlight. Keseluruhan home and care product ini merupakan 78% dari total seluruh penjualan Unilever. Sisa penjualan sebanyak 22% kemudian didapat dari food and ice cream product, seperti Sari Wangi, Blue Band, Royco, Buavita, Bango dan Wall’s[1].

Setelah lama menguasai sebagian besar pangsa pasar dalam negeri, akhirnya Unilever menemukan saingan terberatnya ketika perusahaan Amerika Procter & Gamble (P & G) masuk ke Indonesia pada tahun 1989. Dengan membawa produk-produk unggulannya yang telah diterima di pasar internasional, P & G mencoba menawarkan brand-brand ternamanya di Indonesia seperti Pantene, Rejoice, Head & Shoulders dan Olay.

Banyak strategic action yang digunakan P & G untuk memperluas pangsa pasarnya di Indonesia, antara lain dengan terus melakukan inovasi melalui team research and development-nya (R n D) yang kuat. Melalui studi kelayakan yang komprehensif dengan berpatokan pada CDI (Category Development Index), P & G berusaha untuk selalu mengikuti perkembangan dan kebutuhan pasar. Hasil R n D tersebut kemudian memberikan inovasi baru dalam product differentiation untuk merebut market share lebih banyak. Product differentiation yang dihasilkan antara lain “Rejoice 3 in 1” yang diluncurkan untuk mengakomodasi kebutuhan konsumen yang ingin serba cepat sehingga kebutuhan akan shampoo, conditioner dan creambath dapat tercukupi hanya dengan 1 jenis produk saja, selain itu ada pula “Gillette Vector Plus” yakni pisau cukur dengan dua mata pisau atau lebih untuk memberikan hasil cukur yang lebih cepat, mudah, bersih, dan merata. Bukan hanya product differentiation yang dilakukan P & G untuk meraih pangsa pasar Indonesia, tetapi mereka juga melakukan 2nd degree price discrimination, yakni strategi penentuan harga dengan mengemas produk dalam berbagai package, dari mulai kemasan sachet yang ekonomis sampai kemasan yang lebih eksklusif. Hal ini dilakukan agar seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati produk P & G tanpa terkendala oleh harga yang tinggi. Selain strategi above the line, P & G juga aktif melakukan strategi below the line–nya dengan melakukan berbagai promo produk, seperti rangkaian kegiatan keramas gratis Rejoice di mall-mall atau di tempat umum lainnya. Hasilnya setelah satu decade berada di pasar dalam negeri, P & G mampu meraih 32% pangsa pasar untuk kategori fast moving consumer product[2].

Dengan masuknya P & G dan melihat perkembangannya yang begitu pesat, Unilever tentunya tidak mau ketinggalan dan ingin tetap mempertahankan posisisnya sebagai market leader untuk produk-produk home and personal care di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, strategic action yang dilakukan unilever sangat gencar demi mempertahankan market share-nya yang saat itu hanya tinggal 60%[3].

Tidak ingin kalah dengan P & G, Unilever juga menerapkan strategi price discrimination untuk produk-produknya. Penetapan harga yang dilakukan Unilever lebih kuat karena mereka bukan hanya sekedar mengemas produknya dalam kemasan ekonomis atau eksklusif, namun mereka juga memberi nilai tambah dalam setiap kemasan tersebut. Contohnya dalam produk Pond’s, Unilever memiliki Pond’s Whitening Cream yang harganya lebih terjangkau dari Pond’s Flawless White, namun Pond’s Flawless White mengandung formula ekstra yang di-claim bisa membuat kulit putih hanya dalam 7 hari, formula inilah yang menjadi nilai tambah bagi konsumen ketika mereka membeli produk yang sama dengan harga yang lebih mahal.

Selain itu, Unilever juga tidak kalah hebatnya dalam melakukan inovasi untuk product differentiation-nya. Brand proliferation dilakukan untuk mengisi semua segmen yang ada di pasar agar tidak ada celah bagi new entrant untuk masuk ke pasar. Contohnya multiple brand dalam produk sabun mandi yang dimiliki Unilever, yakni Lux, Lifebuoy, dan Dove yang hampir menguasai 72% pangsa pasar sabun cair di Indonesia. Hasil riset MARS Indonesia (Indonesian Consumer Profile 2008) menyebutkan Lux sebagai market leader dengan perolehan market share sebanyak 39,66%. Sedangkan Lifebuoy menempel ketat di urutan kedua dengan perolehan 31,57%. Sementara Dove, menduduki peringkat keempat dengan perolehan total market share 2,88%, yang masih berada di bawah Biore yang diproduksi oleh PT Kao Indonesia dengan 10,23%. Perolehan market share yang besar untuk Lux dan Lifebuoy ini, dikarenakan Unilever telah berhasil membangun branding yang baik untuk kedua merk tersebut, yakni sabun kecantikan untuk Lux dan sabun kesehatan untuk Lifebuoy. Dengan perolehan pangsa pasar yang besar ini, sulit bagi new entrant untuk masuk ke pasar. Perusahaan yang telah ada di pasar pun hanya akan menjadi follower bagi Unilever. Mereka antara lain Gatsby, produksi PT Mandom Indonesia, Nuvo, produksi PT Wings, dan Cussons, produk andalan dari PT Cussons Indonesia.

Tidak berhenti sampai product differentiation yang paling mendekati preferensi konsumen, Unilever juga berusaha menaikkan kembali market share-nya dengan cara promosi produk melalui iklan yang sangat gencar. Persuasive dan predatory advertising merupakan strategi promosi yang digunakan Unilever untuk memperkenalkan produk-produknya kepada konsumen, menjaring konsumen baru, serta menarik kembali konsumen yang telah berpaling ke produk lain. Iklan-iklan yang dikeluarkan Unilever selalu tampil dengan konsep dan gaya baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Misalnya saat semua iklan detergen menampilkan baju yang bersih dan bebas noda, Rinso justru menampilkan anak-anak yang sedang bermain dengan bajunya yang kotor. Dengan kampanye “berani kotor itu baik”, Rinso mengajarkan anak-anak untuk tetap kreatif dalam bermain tanpa harus takut bajunya kotor, karena untuk urusan kotor, Rinso-lah yang akan menanganinya. Dalam iklan ini, jelas Unilever ingin memberikan sesuatu yang berbeda kepada konsumen. Rinso yang tadinya hanya sekedar detergen, kini brand-nya berubah menjadi detergen yang mendukung kreativitas anak-anak. Strategi iklan seperti ini, bertujuan untuk menginformasikan kepada konsumen bahwa brand-brand Unilever saat ini bukan hanya sekedar merk, tapi juga membawa misi sosial untuk pengembangan masyarakat. Selain kampanye “berani kotor itu baik” milik Rinso, Unilever juga memiliki program-program sosial lainnya seperti kampanye cuci tangan dengan sabun milik Lifebuoy, program edukasi kesehatan gigi dan mulut milik Pepsodent, program pelestarian makanan tradisional milik Bango, serta program memerangi kelaparan dan membantu anak Indonesia yang kekurangan gizi milik Blue Band. Misi-misi sosial tersebut bertujuan untuk mengajak konsumen ikut berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat sehingga mereka memiliki rasa loyalitas tersendiri terhadap brand-brand Unilever. Dengan rasa loyalitas ini, konsumen diharapkan tidak cepat berpindah kepada produk lain ketika sedang diadakan promo atau berbagai penawaran menarik lainnya.

Saat ini persaingan antara Unilever dan P & G pun semakin ketat. Hal ini terbukti dengan price war yang mereka lakukan dengan cara mem-mark down harga-harga produk unggulan mereka untuk meningkatkan market share masing-masing. Strategi ini dilakukan karena mereka sadar bahwa konsumen Indonesia sangat sensitif terhadap harga. Analis CIMB-GK Securities telah mengunjungi hypermarket, Carrefour untuk melihat langsung bagaimana perang harga kedua produsen tersebut[4]. P & G diketahui memangkas harga produk unggulannya, Pantene dan Rejoice sebanyak 26% untuk botol 200 ml dan diskon 17,5% untuk botol 180 ml Head & Shoulder. Sementara Unilever memangkas harga shampo Dove hingga 33% untuk ukuran 360 ml dan memberi hadiah 90 ml Sunsilk dan Clear untuk setiap pembelian botol 180 ml. Perang harga yang dimainkan kedua produsen ini nyatanya memang belum cukup untuk menaikkan market share mereka sampai seperti satu dekade yang lalu. Akibat banyaknya pesaing baru yang masuk pasar, seperti Wings, Kao, Cussons, Lion, dsb., market share Unilever saat ini hanya tinggal 22%-24%[5]. Dan dengan berbagai strategic action tersebut, Unilever hanya mampu menaikkan pangsa pasar sebesar 3%[6].

Meskipun pangsa pasar Unilever untuk home and personal care product saat ini telah mengalami penurunan tajam dibanding 10 tahun yang lalu, namun ternyata Unilever masih memiliki lini bisnis lain yang siap menjadi primadona di pasaran, yakni food and ice cream product. Riset menunjukkan bahwa pangsa pasar food Unilever bisa naik dari posisi sekarang 25%-26% menjadi 32%-33% dalam 4 tahun ke depan dengan produk jus dan es krim yang menjadi fokus pertumbuhan[7].

Dengan lini bisnis baru ini, nampaknya Unilever tidak perlu khawatir akan persaingan dari P & G, karena P & G belum melebarkan sayapnya sampai di kategori produk ini. Meskipun begitu, Unilever harus tetap waspada akan persaingan dari produsen-produsen lain seperti Danone, Wings, Indofood, Diamond, dsb. Strategi yang akan dilakukan Unilever untuk menghadapi persaingan dalam bisnis makanan ini tampaknya masih akan sama dengan strategi Unilever untuk memenangkan persaingannya dengan produsen home and personal care product lainnya, yakni dengan membangun brand awareness kepada konsumen melalui penyampaian misi-misi sosial yang dibawa oleh brand food Unilever. Dengan begitu konsumen diharapkan tidak hanya sekedar mengonsumsi produk-produk Unilever, namun juga turut serta dalam program pengembangan masayarakat. Melalui strategi ini pula, Unilever membuktikan bahwa perusahaannya bukan hanya menjadi produsen yang mengerti kebutuhan konsumen, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan orang banyak.



[1] Annual Report PT Unilever Indonesia Tbk tahun 2007

[2] Akbar Faizal, Ishack Rafick, dan Albert Weldison Nonto,”Rahasia Dapur Juragan Merek” (SWA No. 17/XVII/23 Agustus – 5 September 2001)

[3] Loc. Cit.

[4] Nurul Qomariyah, “Unilever dan Perang Harga dengan P&G”, (detikFinance) Senin, 07/09/2009 10:14 WIB

[5] Kim Eng, Riset per 18 Februari 2010, CLSA Asia Pacific Markets Swati Chopra, dalam Bataviase.com

[6] Katarina Setiawan, Analis PT Kim Eng Securities, dalam Bataviase.com

[7] Kim Eng, op. cit., dalam Bataviase.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar