Kamis, 07 Oktober 2010

Literatur Review: Political Economy

Literature review ini membandingkan intisari dari tiga buah artikel yang membahas tentang political economy. Pertama, The Study of International Political Economy dari buku berjudul States and Markets karangan Susan Strange (London: 1994), kedua, Economic Institutions and Development: A View From the BottomA new Institutional Approach to Economic Development (New Delhi: 2001), dan ketiga, tulisan dari anak bangsa dengan judul Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia karangan Boediono dari buku dengan judul Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana? (Jakarta: 2009). Ketiga tulisan tersebut sama-sama memaparkan tentang ekonomi politik dalam kaitannya baik dengan dunia Internasional maupun negara berkembang seperti Indonesia secara langsung. karangan Oliver E. Williamson dari buku

Susan Strange memberikan pendahuluan dalam tulisannya yakni mengenai pendekatan dalam memahami international political economy secara umum dengan membuat asumsi-asumsi yang mana yang merupakan teori dan mana yang bukan. Strange mengemukakan four negative assumptions about what is not theory, yaitu pertama, teori bukan hanya sekedar deskripsi yang menggunakan kosa kata baru dan menjelaskan fenomena yang sudah diketahui orang banyak, kedua, teori tidak sekedar mendeskripsikan fakta-fakta terkenal dengan taksonomi baru, ketiga, teori bukan hanya menyederhanakan konsep-konsep yang didapat dari ilmu sosial lainnya dan terakhir, pengembangan dari teknik kuantitatif bukanlah advanced theory. Selain negative assumptions, Strange juga mengemukakan three positive assumptions about what is theory, yakni pertama,kedua, teori tidak ditujukan untuk memprediksi karena adanya kemungkinan dari luar yang tidak terhingga sehingga inilah yang membedakan antara social science dan natural science, ketiga, teori bersifat scientific teori harus bisa menjelaskan aspek-aspek dari sistem internasional yang tidak mudah dijelaskan oleh ilmu-ilmu biasa, hanya bila pencetus teori tersebut menghargai rasionalitas.

Pendahuluan yang dipaparkan oleh Boediono lebih mengarah kepada Indonesia dimana Ia mempertanyakan are we on the right track?. Ia mendahului penjelasannya dengan menyepakati apa yang dimaksud dengan the right track, baru kemudian kita bisa menjawab apakah kita on the right track.

Sedangkan Oliver E. Williamson memulai penjelasannya dengan membahas institutional economics yang sudah mengalami perkambangan namun terbatas hanya untuk negara-negara maju saja, untuk praktiknya di negara berkembang (seperti Indonesia) economic institutions masih sulit untuk dikembangkan.

The Nature of International Relations

Ada banyak literature tentang contemporary international political economy, Strange menyatakan bahwa kebanyakan dari literature tersebut mengandung dua poin penting, yang pertama ialah terlalu banyaknya dominasi dari American academics atau terlalu mengacunya asumsi-asumsi berdasarkan pengalaman atau kepentingan nasional Amerika, dan yang kedua ialah terlalu sempitnya pertanyaan tentang international political economy, yakni hanya sebatas major economic issues seperti perdagangan, investasi, neraca, nilai tukar, pasar modal dan bank internasional (West-West issues), sedangkan yang seharusnya lebih diperhatikan adalah North-South issues, dimana dijelaskan bagaimana Negara kaya menyediakan pinjaman bagi Negara miskin, atau East-West issues, dimana dibahas mengenai hubungan antara OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) countries dan Soviet bloc / CMEA (Council for Mutual Economic Assistance). Williamson juga menyepakati tentang contemporary international political economy dimana Negara-negara ex-communist seperti Eastern Europe dianjurkan untuk merubah haluannya menuju market economy, tetapi tanpa adanya institusi yang mewadahi, pencapaian kepada market economy tidak akan pernah bisa terwujud.

Kunci keberhasilan internasional politik ekonomi terletak pada banyak hal. Strange lebih menekankan hal ini kepada pemerintah, bukan rakyat. Menurutnya, internasional politik ekonomi akan maju bila adanya kepentingan yang besar dari pemerintah. Tidak cukup bila dikatakan bahwa politik memiliki porsi yang sedikit dalam ekonomi begitu pula sebaliknya (Staniland, 1985). Sedangkan Williamson dan Boediono memiliki pendapat yang sama, mereka menyatakan bahwa kunci keberhasilan internasional politik ekonomi terletak pada governance atau mutu institusi. Wiiliamson memaparkan bahwa institusi ekonomi yang baru, beroperasi dalam dua level, yaitu level makro yang berhubungan dengan institutional environment dan level mikro yang berhubungan dengan governance institutions. Menurut Boediono, seorang ahli ekonomi pembangunan kenamaan melihat demokrasi sebagai suatu meta-institution yang dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya institusi-institusi lain yang berkualitas, artinya efektif dan dengan tatakelola atau governance yang baik. Ia juga berpandangan bahwa rule of law lebih menentukan kinerja ekonomi daripada demokrasi per se.

Political Economy

Persamaan hakikat dari definisi dasar ekonomi dan politik menyebabkan kedua aspek sosial tersebut menjadi ketergantungan satu sama lain. Strange menjelaskan bahwa ekonomi, seperti kebanyakan murid tingkat pertama mengatakan, adalah tentang penggunaan sumber daya yang terbatas untuk keinginan yang tidak terbatas, sehingga akan melahirkan pertanyaan seperti apa alokasi sumber daya yang paling efisien. Dalam konteks ini, bisa dilihat bagaimana pasar berperilaku, pemerintah mengambil kebijakan terbaiknya, dan semua fungsi sistem ekonomi didasarkan pada efisiensi atau inefisiensinya mereka. Sedangkan politik berarti menyediakan kebutuhan masyarakat dan barang-barang milik masyarakat serta mengetahui institusi-institusi politik, baik yang ada di negaranya maupun yang berada di Negara lain. Kesamaan politik dan ekonomi terletak pada efisiensi, institusi ekonomi berusaha mengefisiensikan kegitannya untuk mendapatkan maximum profit dan politik berefisiensi untuk mencapai kesejahteraan public. Williamson pun berpendapat bahwa efisiensi dibutuhkan untuk mencapai tujuan dari economizing transaction cost dengan governance structures.

Dalam membangun dimensi ekonomi politik di Indonesia, Boediono menyampaikan adanya trade off antara rasionalisme dengan populisme, pemerintahan yang efektif dengan pemerintahan yang representatif, serta teknokrasi dengan demokrasi. Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang cepat, maka diperlukan keputusan-keputusan yang tidak hanya cepat, namun juga rasional, konsisten dan berwawasan jangka panjang. Tetapi mekanisme politik yang belum mantap tidak mendukung keputusan yang cepat dan decisive ini. Lain halnya dengan politics in the liberal western tradition. Strange menyatakan bahwa mereka menemukan trade off antara order and liberty dan antara security and justice. Hal ini dijelaskan dengan bureaucratic-authoritarian school yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sistem politik dan kepentingan partai di negara berkembang serta ekspansi dari kaum kapitalis pasar dan pemerataan income.

Basic Values

Untuk membentuk suatu organisasi sosial dimana akan terciptanya dimensi ekonomi politik yang pertama, Strange memaparkan bahwa ada nilai-nilai dasar yang harus disediakan oleh organisasi tersebut, yakni wealth, security, freedom and justice. Kelompok masyarakat yang berbeda akan memberikan prioritas yang berbeda pula pada keempat nilai ini. Contohnya Plato dan Hobbes menginginkan order yang lebih, Rousseau dan Marx menginginkan lebih banyak justice, Adam Smith, Maynard Keynes dan Milton Friedman mengusahakan lebih banyak wealth, serta Hayek dan John Stuart Mill ingin freedom lebih banyak, sedangkan Robinson Crusoe, seorang yang terisolir dari society, tidak memiliki masalah dengan freedom ataupun justice. Namun menurut Boediono, nilai dasar yang perlu dimiliki bangsa Indonesia untuk membangun dimensi ekonomi politiknya ialah kohesi sosial yang telah tercipta sejak dahulu. Ada bangsa yang karena sejarah, kultur homogen dan struktur sosialnya mempunyai kohesi sosial yang kuat dan tahan terhadap tekanan dan bantingan, contohnya Jepang dan Korea. Ada juga bangsa yang kurang beruntung seperti Yugoslavia dan Irak, yang memiki sejarah panjang pertikaian antar kelompok di dalamnya, sehingga begitu orang kuat pemersatunya tiada, pertikaian muncul kembali dan bangsa itu pecah. Dan untuk Indonesia sendiri, karena keberagaman kultur dan heterogenitas masyarakatnya, memiliki daya tahan yang secara intrinsik lebih rendah, sehingga harus pandai-pandai menjaga keseimbangan antara kohesi sosialnya di satu sisi dan kecepatan perubahan yang ingin dilaksanakannya di sisi lain.

Dalam Strange, dinyatakan bahwa International political economy concerns kepada keadaan saat ini, keadaan masa lalu dan keadaan di masa depan. Pada present arrangements, International political economyInternational political economy juga tidak dapat mengabaikan sebab-sebabnya yang berasal dari sejarah serta kemungkinan-kemungkinan di masa depan yang bisa diprediksi. Sedangkan praktiknya di Indonesia, Boediono memaparkan bahwa pembangunan dimensi ekonomi politik yang tercermin dalam gerakan reformasi memiliki empat tuntutan utama, yakni, perbaikan ekonomi, perbaikan tata pemerintahan atau governance, supremasi hukum dan demokrasi. memperhatikan masalah sosial, politik dan ekonomi yang dapat mempengaruhi sistem produksi global.

Power in political economy

Strange menyebutkan bahwa ada dua jenis power dalam ekonomi politik yaitu, structural power dan relational power. Structural power ialah kekuasaan untuk menentukan struktur politik ekonomi global dalam/antar negara, institusi politiknya, economic enterprises-nya, ilmuwan-ilmuwannya dan para profesional untuk menjalankannya. Sedangkan relational power dideskripsikan dengan kekuasaan A memerintah B untuk melakukan sesuatu yang tidak B inginkan. Misalnya, kekuasaan Jerman terhadap Swedia terkait ‘neutral’ territory-nya atau kekuasaan Amerika terhadap Panama terkait masalah Panama Canal. Seseorang memiliki kekuasaan ekonomi bila ia mempunyai uang yang banyak atau daya beli yang tinggi. Seseorang memiliki kekuasaan politik bila ia dapat mengendalikan suatu negara atau institusi lainnya. Namun tidak mungkin bila seseorang memiliki kekuasaan politik tanpa economic power untuk berproduksi dan mengelola capital, begitu juga tidak mungkin bila sesorang memiliki kekuasaan ekonomi tetapi tidak mempunyai political power untuk legal dan physical security. Tapi di Indonesia, Boediono menyebutkan bahwa sejarah menunjukkan keberhasilan proses transformasi menuju masyarakat yang makmur demokratis dan terbuka ditentukan oleh keberadaan kelompok pembaharu. Di Inggris, kelompok pembaharu adalah para pengusaha atau kaum borjuis yang memiliki economic power. Di Jerman, justru kaum birokrat (terdiri atas para bekas aristocrat) yang memiliki political power yang menjadi kelompok pembaharu. Di Jepang, kaum samurai-lah yang menjadi motor penggerak modernisasi. Sedangkan bagi negara berkembang seperti Indonesia kelompok pembaharu ini dapat meliputi unsur-unsur reformis dari kaum pengusaha, intelektual, profesional, birokrat, pemuda, aktivis LSM, dan lain-lain. Hal ini membuktikan untuk mencapai negara berdimensi ekonomi politik yang utuh, tidak harus dipengaruhi orang-orang yang mempunyai poltical power ataupun economic power, tetapi kaum ‘biasa’ pun bisa menjadi ujung tombak dan mengawali proses transformasi itu. Perkembangan kelompok pembaharu ini dapat dan perlu didorong dengan: (1) menjaga agar pertumbuhan ekonomi tersebar dan ditopang oleh good governance dan iklim usaha yang sehat, (2) mendorong perkembangan UKM, (3) mengupayakan penyatuan kekuatan pribumi dan non-pribumi, (4) menyediakan pendidikan bermutu, dan (5) tetap menjaga keterbukaan dan interaksi kita dengan dunia luar.

Willimson menyebutkan bahwa ada three core concepts dalam mewujudkan good governance, yaitu credible commitment, bureaucracy/bureaucratization, dan remediableness. Credible commitment artinya memiliki komitmen yang tinggi dan dapat dipercaya terhadap semua janji yang telah disampaikan, bureaucracy/bureaucratization dapat menjadi masalah/costs namun juga dapat menjadi solusi/benefits, sedangkan remediableness berarti membandingkan kinerja nyata suatu institusi dengan kinerja ideal yang diinginkan. Namun Williamson juga menyatakan bahwa remediableness merupakan konsep yang paling controversial dibanding dengan dua konsep lainnya. Sedangkan pembangunan governance di Indonesia, menurut Boediono dijalankan melalui satu konsep saja, yaitu demokrasi. Institusi yang baik menentukan keberhasilan pembangunan, dan demokrasi adalah sistem yang kondusif bagi perkembangan institusi semacam ini. Pada tahap kemajuan ekonomi yang makin tinggi, pertumbuhan ekonomi akan makin mengandalkan fleksibilitas sistem ekonomi, kemajuan teknologi, dan peningkatan mutu faktor produksi, yang semuanya bersumber pada inisiatif dan inovasi para pelaku ekonomi dan kita tahu bahwa inisiatif dan inovasi tumbuh paling subur di alam demokrasi.

Dalam Strange, Thomas Jefferson di Amerika mengatakan bahwa agriculture merupakan the basis of nationalwealth dan manajemen agriculture merupakan masalah utama dari political economy. Namun Adam Smith berpendapat lain, Ia mengatakan bahwa perdagangan dan industri-lah yang merupakan the basis of national wealth. Sedangkan Boediono dalam bukunya mengatakan bahwa masalah utama ekonomi politik ialah proses transformasi dari masyarakat berpenghasilan rendah, tertutup, dan tidak demokratis menuju masyarakat yang makmur, terbuka dan demokratis. Salah satu kristalisasi pandangan itu ialah fondasi ekonomi dari demokrasi. Intinya ialah, pada tahap awal masyarakat yang berpenghasilan rendah, tertutup dan belum demokratis seyogyanya memusatkan upaya pada pembangunan ekonomi lebih dulu.

Development and Reform

Williamson mengklasifikasikan empat jenis negara berdasarkan perkembangan ekonominya dan kondisi pemerintahan/politiknya seperti pada gambar berikut:


Economy

Developed

Developing

Polity

Above

threshold

I

II

Below threshold

III

IV

Pada sel I, suatu negara berada pada kondisi yang efisien dimana negara tersebut telah dapat dikatakan sebagi negara maju jika dilihat dari berbagai indicator seperti GDP, GDP per capita, ataupun human development index (HDI). Negara tersebut juga telah berada pada kondisi pemerintahan yang baik, terbukti dengan economic and political institutions-nya yang kinerjanya telah dapat diterima dengan jelas.

Pada sel II, negara berkembang namun telah memiliki sistem pemerintahan yang baik. Negara ini biasanya memiliki para ekonom yang tidak dimiliki oleh negara maju, sehingga praktik untuk meningkatakan kesejahteraan negara ini berbeda dengan negara maju kebanyakan. Para ekonom dapat berkonsentrasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena sistem pemerintahannya telah terkelola dengan baik.

Pada sel III, negara maju namun memiliki sistem pemerintahan yang masih buruk akibat sedikitnya dorongan untuk bereformasi. Biasanya negara seperti ini memiliki pemimpin yang otoriter dan cenderung tidak menyukai perubahan. Negara dengan sistem autokrasi ini umumnya dipimpin oleh seorang raja, sultan ataupun kaisar, namun bisa juga negara ini merupakan negara yang menerapakan sistem monoparty dimana tidak ada oposisi dari pihak lain dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

Pada sel IV, negara berkembang dan sistem pemerintahannya belum cukup baik. Di negara ini ada dorongan yang besar untuk bereformasi. Demokrasi akan berjalan sia-sia bila tidak diikuti dengan kondisi pemerintahan yang memuaskan. Dorongan untuk keluar dari sel ini sangat besar terutama untuk berpindah ke sel II. Karena mereka menganggap bahwa tata pemerintahan-lah yang harus terlebih dahulu dibenahi, baru kemudian menuju negara maju pada sel I.

Conclusion

Ketiga artikel diatas memaparkan dimensi ekonomi politik dari berbagai sudut pandang. Strange lebih menekankan International Political Economy dari sisi western countries sebagai negara maju, sehingga konsekuensinya ada beberapa hal yang tidak bisa diterapkan dalam negara-negara berkembang seperti yang dikemukakan oleh Williamson dan Boediono.

Oleh karena itu, pembangunan ekonomi politik haruslah disesuaikan dengan kultur dan keadaan ekonomi serta pemerintahan negara yang bersangkutan agar kesinambungan ekonomi politik tidak melenceng dari asas awal negara yang sudah ditetapkan dan bisa berjalan continue sesuai dengan yang diharapkan.





Bibliographical

Boediono. 2009. Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana?, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Kahkonen, Satu dan Mancur Olson. 2001. A New Institutional Approach to Economic Development. New Delhi: Vistaar Publications.

Strange, Susan. 1998. States And Markets. London: Pinter Publishers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar