Rabu, 13 April 2011

LESSONS FROM THE FINANCIAL CRISIS FOR MONETARY POLICY IN EMERGING MARKETS

I. Pendahuluan: Paper Review

Secara umum, paper ini membahas tentang hal-hal yang terjadi sebelum dan sepanjang financial crisis serta implikasinya terhadap ilmu ekonomi dan kebijakan pemerintah. Namun secara khusus, paper ini berfokus kepada cara emerging markets (EMs) bertahan dari badai financial crisis yang menyerang hampir seluruh negara di dunia. Taylor menganalisa bahwa yang menjadi penyebab utama dari financial crisis adalah kebijakan pemerintah dan bank sentral yang menyimpang dari apa yang selama ini dilakukan selama dua dekade terakhir. Sedangkan bagaimana EMs dapat bertahan, ialah karena tidak adanya penyimpangan kebijakan di negara mereka.
Financial crisis bermula dari pergeseran kebijakan moneter yang diambil the Fed, dimana suku bunga ditetapkan terlalu rendah sehingga terjadi boom pada kredit perumahan. Taylor juga menyatakan bahwa boom dipicu oleh kekeliruan dalam perhitungan bunga kredit. Mortgage seharusnya dihitung berdasarkan long-term interest rate, sedangkan the Fed menghitungnya berdasarkan short rate sehingga bunga yang rendah dalam kredit ini menjadi menarik bagi banyak orang. Boom ini pada akhirnya “meledak” akibat adanya gagal bayar/kredit macet sehingga memicu terjadinya krisis. Faktor lain yang menyebabkan financial crisis ialah pemerintah yang mendukung Fannie Mae dan Freddie Mac Agencies untuk memperluas dan membeli mortgage securities, termasuk sub-prime mortgages yang beresiko tinggi.
Selain faktor-faktor diatas, financial crisis juga disebabkan oleh penyimpangan kebijakan yang dibuat oleh the Fed maupun pemerintah, antara lain:
1. The Fed membuat Term Auction Facility (pinjaman untuk bank komersial tanpa discount window);
2. The Fed memotong tingkat suku bunga sepanjang 2007-2008; dan
3. Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan fiskal berupa suntikan dana ke masyarakat sebanyak $100 milyar.
Kepanikan financial crisis diawali dengan gagalnya pemerintah dalam mencegah bangkrutnya Lehman Brothers pada tahun 2008. Namun Taylor menyatakan bahwa kepanikan ini bukan berasal dari gagalnya pemerintah dalam hal membantu Lehman, tetapi lebih kepada kegagalan untuk mengemukakan strategi dalam memberikan pinjaman dan bantuan kepada sektor keuangan yang sedang collapse.
Fokus dalam paper ini ialah resiliency dari EMs, seperti India, dalam menghadapi financial crisis. Taylor menyatakan bahwa EMs memiliki kebijakan makroekonomi yang tetap dipertahankan sejak tahun 1990 bahkan juga selama krisis berlangsung, sehingga shock akibat krisis tidak terlalu significant pengaruhnya terhadap perekonomian mereka. Kebijakan tersebut yakni meminimumkan pinjaman dalam bentuk foreign currencies, meningkatkan cadangan devisa, dan lebih berhati-hati dengan defisit sektor publik. Sedangkan instrument kebijakan moneter yang diterapkan adalah penargetan inflasi yang terpercaya atau lebih dikenal dengan Inflation Targeting Framework (ITF).
Implikasi financial crisis terhadap kebijakan pun dipaparkan oleh Taylor dalam paper ini. Ia merekomendasikan beberapa kebijakan yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya krisis. Kebijakan tersebut antara lain: (1) tidak memberikan stimulus fiskal kepada masyarakat, (2) mengembalikan kredibilitas dan ke-independent-an bank sentral dengan kembali kepada kebijakan-kebijakan yang mereka lakukan sebelum krisis, (3) reformasi peraturan keuangan dan (4) menciptakan peraturan baru mengenai penanggulangan risiko sistemik. Selain rekomendasi-rekomendasi tersebut, Ia juga menyarankan agar negara maju dapat menjaga interest rate-nya tetap stabil, sehingga negara-negara berkembang khususnya EMs tidak terkena shock yang mendalam akibat gap interest rate terkait apresiasi exchange rate dan menurunnya ekspor. Terakhir, Taylor pun merekomendasikan agar terdapat global target interest rate yang implementasinya mungkin bisa dimulai dari negara-negara yang tergabung di dalam G20.
Kesimpulannya, financial crisis terjadi akibat adanya kegagalan pasar yang harus diintervensi oleh pemerintah. Namun sayangnya, campur tangan pemerintah melalui berbagai kebijakan yang dibuat, menyimpang dari teori dalam ilmu ekonomi yang selama dua dekade terakhir ini telah membawa pertumbuhan dunia. Akibatnya campur tangan pemerintah justru membuat krisis semakin panjang dan bertambah parah. Bercermin pada EMs yang sukses melewati badai financial crisis, Taylor menyarankan agar perekonomian kembali kepada mekanisme pasar (Adam Smith at home and abroad) dengan segala penyesuaiannya terhadap peningkatan globalisasi.

II. Analisa Jurnal Pendukung

Paper utama membahas dua hal penting terkait financial crisis, yaitu: (1) penyebab utama financial crisis akibat kekeliruan kebijakan yang dibuat oleh the Fed dan (2) bagaimana EMs dapat bertahan dari serangan financial crisis. Berikut adalah pro dan kontra dari berbagai jurnal.
II.1 Penyebab Utama Financial Crisis
Rendahnya suku bunga yang ditetapkan the Fed sepanjang 2002-2006 dianggap Taylor sebagai pemicu terjadinya financial crisis. Hal serupa dijelaskan oleh Adrian dan Shin (2008), dimana tingkat bunga yang rendah dapat menurunkan cost of funding di semua pasar. Akibatnya, bank mengambil risiko kredit yang lebih besar serta kehilangan standar jumlah pemberian pinjaman. Hal ini berujung kepada pengembangan neraca bank-bank di Amerika akibat peningkatan aset dari sisi loan. Ketika terjadi kredit macet, otomatis nilai aset berkurang drastis dan hal ini menyebabkan terjadinya financial crisis.
Opini Taylor mengenai kesalahan perhitungan bunga kredit perumahan dengan menggunakan short-term interest rates juga didukung oleh Greenspan (2010). Menurutnya, harga perumahan di Amerika lebih dekat hubungannya dengan long-term rates. Sedangkan terdapat hubungan yang lemah antara suku bunga jangka pendek dan jangka panjang selama bertahun-tahun. Hal ini membuktikan bahwa boom akibat naiknya permintaan kredit pada sektor perumahan adalah kesalahan the Fed yang tidak memperhitungkan hubungan antar suku bunga ini.
Di sisi lain, Bernanke (2010) menyatakan bahwa the Fed sama sekali tidak salah dalam mengambil keputusan, terutama terkait rendahnya federal funds rate pada tingkat 1.75% (2001) dan terus berfluktuasi (5.25% di pertengahan 2006) hingga di-cut lagi pada pertengahan 2007 sampai tersisa hanya sekitar 0.1% pada akhir tahun 2009. Meskipun pada periode 2002-2006, suku bunga berada dibawah Taylor rule hingga mencapai 200 basis poin (Taylor, 2007), namun hal ini bukanlah bukti bahwa the Fed salah mengambil kebijakan atau menyimpang dari teori dalam ilmu ekonomi. Menurutnya, penetapan suku bunga berdasarkan Taylor rule tidak fleksibel dan hanya dapat bekerja jika memenuhi asumsi-asumsi tertentu .
Saat the Fed memotong suku bunganya sampai level 1.75% di tahun 2001, sedang terjadi shock akibat serangkaian peristiwa seperti dot-comm boom, September 11 dan serangan terhadap Irak yang mengguncang tingkat inflasi dan output Amerika. Kebijakan moneter yang sangat bergantung pada kedua variabel ini tidak tercermin di dalam Taylor rule. Oleh karena itu, The Fed lebih memilih menggunakan Taylor rule dengan inflation forecasts sebagai acuan penetapan suku bunga dari pada menggunakan the standard Taylor rule yang kurang akurat dalam meramalkan kondisi perekonomian masa depan.
Bernanke juga menambahkan tingginya permintaan pada sektor properti bukanlah disebabkan oleh rendahnya suku bunga jangka pendek, melainkan oleh murahnya down payment, tersedianya berbagai jenis kredit perumahan yang menarik, serta menurunnya standardisasi dalam pemberian kredit (kredit pada kalangan NINJA). Kesimpulannya, jelas Bernanke menolak bahwa financial crisis terjadi akibat kesalahan the Fed.
King (2010) pun menyatakan bahwa financial crisis bukanlah disebabkan oleh rendahnya federal funds rate, melainkan adanya trade imbalances antar negara di dunia. King menjelaskan teori ini dengan ilustrasi “Sudoku for economists” dimana suatu negara tidak bisa memilih kebijakan yang bertentangan dalam waktu yang bersamaan. Ketika Amerika Serikat ingin mencapai full employment levels of GDP, sebagai low-saving country, Amerika tidak mungkin mengurangi trade deficit-nya. Akibatnya, penambahan capital akan meningkatkan stock of international assets dan liability positions, sehingga sewaktu-waktu bisa menyebabkan jatuhnya “menara” dan berakibat pada terjadinya krisis global.
II.2. Ketahanan Emerging Markets dari Serangan Financial Crisis
Menurut Taylor, inflation targeting yang terpercaya dapat membuat EMs bertahan dari gejolak financial crisis. Penargetan inflasi melalui interest rate yang dilakukan membuat Taylor merekomendasikan negara maju untuk memiliki interest rate yang stabil guna mencegah adanya gap interest rate yang bisa berdampak pada apresiasi mata uang EMs dan menurunnya ekspor.
Dalam Frankel (2010), kesuksesan negara maju dalam menerapkan inflation targeting membuat negara berkembang khususnya EMs merubah rezim kebijakan moneternya dari exchange rate targeting menjadi inflation targeting (IT) . Instrumen kebijakan ini dinilai lebih cocok dengan EMs karena dapat membagi loss yang ditimbulkan oleh krisis ke dalam inflasi dan output. Artinya, saat terjadi supply shock, ke-flexible-an IT dapat menitikberatkan loss kepada kenaikan harga, sehingga penurunan nominal GDP bukan disebabkan oleh penurunan output, melainkan oleh penurunan harga yang lebih terlihat di dalam real GDP.
Namun menurut Calvo (2006), kesuksesan interest rate tweaking (IRT) dalam EMs hanya terjadi pada kondisi perekonomian yang stabil . Dalam keadaan krisis, interest rate yang ditetapkan bank sentral hanya mempengaruhi jumlah likuiditas dengan porsi sedikit. Dan hal ini tidak cukup untuk meng-intervensi exchange rate agar tetap stabil. Maka saat krisis, EMs perlu menggeser instrument kebijakan IRT ke foreign exchange intervention (FXI).
Ketika krisis terjadi, exchange rate seketika dapat terdepresiasi tajam, tapi dengan instrumen ini, exchange rate volatility dapat diturunkan sehingga mengurangi shock pada EMs. FXI pun dapat digunakan untuk mengantisipasi terjadinya high volatility. Saat bank sentral telah melakukan freezing exchange rate tetapi high volatility tidak terjadi, maka bank sentral dapat memperbaiki exchange rate dengan cara membatasi fluktuasinya.
Namun, apabila tidak ada kesiapan dari masyarakat, perubahan instumen kebijakan secara mendadak ini hanya akan meningkatkan volatilitas exchange rate dan menghentikan pertumbuhan ekonomi EMs secara tiba-tiba. Oleh karena itu, diperlukan kesiagaan dari masyarakat terhadap pergantian instrumen kebijakan moneter saat keadaan ekonomi sedang bergejolak.
Kesimpulan dari analisa berbagai jurnal ini ialah terdapat banyak argumen mengenai penyebab terjadinya financial crisis. Sayangnya, setelah hampir tiga tahun sejak krisis terjadi belum ada kesepakatan penuh antara para pembuat kebijakan dan peneliti mengenai penyebab utama terjadinya financial crisis ini . Sementara itu kunci kesuksesan EMs dalam menghadapi krisis adalah dengan menerapkan ITF. Walaupun demikian, ada saat tertentu dimana penerapannya tidak efektif dan harus beralih ke instrument kebijakan moneter yang lain.


III. Tinjauan Kasus di Indonesia

Sebagai bagian dari perekonomian dunia, Indonesia juga mengalami pukulan yang hebat saat financial crisis terjadi. Runtuhnya sektor keuangan di Amerika Serikat menimbulkan kecemasan bagi para investor untuk menempatkan asetnya pada sektor keuangan, terutama di negara-negara yang berisiko tinggi seperti EMs termasuk Indonesia. Hal ini membuat mereka menarik dananya keluar dari Indonesia sehingga menyebabkan terjadinya excess likuiditas di pasar uang antar bank (PUAB). Sayangnya, kelebihan likuiditas ini tidak langsung digunakan sebagai investasi karena bank-bank tidak mau menyalurkan kredit akibat adanya kenaikan risiko usaha dan perusahaan pun tidak mau berinvestsi karena suku bunga kredit yang masih tinggi dan adanya penurunan permintaan agregat. Hal ini ditandai dengan menurunnya volume transaksi PUAB pada triwulan IV 2008 yang berlanjut hingga triwulan I 2009 dan peningkatan pertumbuhan Non Performing Loans (NPLs) sampai triwulan II 2009.
Capital outflow yang terjadi membuat Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan. Banyaknya aliran dana yang keluar membuat mata uang rupiah terdepresiasi sehingga impor berkurang. Melemahnya nilai tukar pun tidak berdampak pada peningkatan ekspor dikarenakan adanya penurunan demand terutama dari negara-negara utama tujuan ekspor Indonesia yang juga terkena dampak krisis global seperti Jepang, Amerika Serikat, Singapura, China dan India. Berdasarkan neraca pembayaran Indonesia, terjadi penurunan ekspor sebesar 14.4% dan penurunan impor sebesar 27.74% sepanjang tahun 2008-2009.
Dalam upaya memulihkan perekonomian Indonesia, sebagaimana kebijakan yang dilakukan bank sentral EMs lainnya, Bank Indonesia (BI) pun menjalankan kebijakan moneter melalui penerapan Inflation Targeting Framework (ITF) untuk mengupayakan pencapaian target inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Strategi ITF ini dilaksanakan melalui pengendalian BI Rate untuk mendorong tumbuhnya investasi dan menjaga inflasi tetap stabil.
Seperti yang dilakukan the Fed, BI menggunakan proyeksi inflasi kedepan (Taylor rule with inflation forecasts) dalam penetapan BI Rate. Dalam Grafik 1 BI Rate terus mengalami penurunan sepanjang 2006 sampai akhir triwulan II 2008. Hal ini dikarenakan adanya proyeksi inflasi rendah seiring dengan terjadinya financial crisis yang menyebabkan agregat demand berkurang dan berimplikasi pula pada turunnya harga minyak dunia.















Namun memasuki awal triwulan II hingga akhir 2008, BI Rate kembali ditingkatkan karena adanya proyeksi inflasi tinggi yang disebabkan oleh naiknya harga minyak dunia yang mencapai level tertinggi pada Juli 2008 dan dampaknya pada peningkatan permintaan agregat. Selanjutnya memasuki awal 2009 sampai triwulan III, BI rate mengalami penurunan yang cukup significant sampai level 6.5% (stabil sampai sekarang) dikarenakan redanya tekanan inflasi akibat krisis di pasar keuangan yang telah meyebabkan harga minyak turun cukup tajam. Selain itu dampak krisis global tahun 2008 yang mulai terasa, antara lain dengan melambatnya permintaan agregat yang menyebabkan turunnya harga komoditas dunia, juga membuat BI menurunkan BI Rate nya cukup tajam.
Penetapan BI Rate berdasarkan proyeksi inflasi ini terbukti bisa membawa perekonomian Indonesia ke target inflasi yang diharapkan. Inflasi rendah pada akhir 2009 di level 2.78% merupakan respon positif atas penurunan BI Rate sepanjang tahun 2009. Inflasi yang rendah ini paling banyak disumbang oleh kelompok barang administered (inflasi mencapai -3%) sebagai respon dari penurunan harga BBM bersubsidi di awal 2009. Sedangkan kelompok barang volatile food dan imported inflation juga mengalami penurunan harga dibawah rata-rata yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah untuk tetap menjaga kecukupan kebutuhan pokok serta terjadinya deflasi di negara-negara utama mitra dagang Indonesia.

IV. Kesimpulan dan Penutup

Financial crisis telah memberi sentiment negatif terhadap perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Dalam upaya pemulihannya, Bank Indonesia telah mengambil kebijakan moneter yang ekspansif melalui ITF untuk mencapai sasaran kestabilan harga dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini pun terbukti berhasil dengan inflasi aktual sesuai target serta pertumbuhan tahun 2009 sebesar 4.5%, di saat ada banyak negara yang mengalami pertumbuhan negatif.
Sebagai EMs dengan growth tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India, Indonesia pun turut menyumbang peran dalam upaya pemulihan perekonomian dunia pasca krisis global. Kuatnya permintaan negara EMs, terutama China, mendorong harga komoditas naik dan menyebabkan pertumbuhan bagi negara-negara lainnya. Jelas bahwa EMs memegang peranan penting dalam perekonomian dunia. Melalui kebijakan moneter yang diterapkan, EMs hanya memerlukan waktu sedikit untuk dapat pulih dari badai financial crisis. EMs pun dapat mendorong perekonomian global untuk bangkit kembali.

V. Daftar Pustaka

Adrian, Tobias dan Hyun Song Shin. 2008. Financial Intermediaries, Financial Stability and Monetary Policy. Federal Reserve Bank of New York Staff Reports, no. 346.
Bernanke, Ben S. 2010. Monetary Policy and the Housing Bubble. Remarks at the Annual Meeting of the American Economic Association. January 3. Atlanta, Georgia.
Calvo, Guillermo A. 2006. Monetary policy challenges in emerging markets : sudden stop, liability dollarization, and lender of last resort. Inter-american Development Bank and National Bureau of Economic Research. Working paper series: 596. Washington, DC.
Frankel, Jeffrey A. 2010. Monetary Policy in Emerging Markets: A Survey. National Bureau of Economic Research. Working Paper series: 16125. Cambridge.
Greenspan, Alan. 2010. The Crisis. Mimeo. Greenspan Associates LLC. di dalam Central Banking Lessons from the Crisis (Approved by José Viñals). 2010. Monetary and Capital Markets Department, International Monetary Fund.
King, Mervyn. 2010. Speech at the University of Exeter. January 19.
Laporan Perekonomian Indonesia 2007. Bank Indonesia.
Laporan Perekonomian Indonesia 2008. Bank Indonesia.
Laporan Perekonomian Indonesia 2009. Bank Indonesia.
Taylor, John B. 2010. Lesson from The Financial Crisis for Monetary Policy in Emerging Markets. Remarks at the Platinum Jubilee celebration reserve Bank of India. February 24. Mumbai.