Kamis, 28 Oktober 2010

Tanah Papua Menangis

Indonesia akhir-akhir ini bagaikan menjadi tujuan utama objek wisata atas nama “bencana alam”. Dari mulai tsunami, gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, hingga banjir tersedia di bumi pertiwi ini. “Wisata” terbaru nusantara yang menelan sedikitnya 108 orang korban jiwa dan 76 orang lainnya yang masih belum dapat ditemukan, terjadi di Wasior, ibu kota Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Pada Senin 4 Oktober 2010 kemarin, tanah Papua ini “dikunjungi” banjir bandang yang langsung meluluh lantakkan Wasior beserta isinya. Bencana ini berawal dari turunnya hujan deras yang mengakibatkan adanya danau dan sungai (Wasior dan Dusner) yang meluap diatas gunung, seketika itu juga air dengan ketinggian 3–5 meter mengalir deras ke pemukiman warga yang letaknya lebih rendah, menuju teluk Wondama dan menyapu rumah-rumah penduduk bak tsunami Aceh tahun 2004.

Bencana ini dikenal sebagai banjir bandang, yakni banjir di permukaan rendah yang terjadi akibat hujan yang turun secara terus-menerus dan muncul secara tiba-tiba. Banjir ini terjadi saat penjenuhan air terhadap tanah di suatu wilayah yang berlangsung dengan sangat cepat sehingga tidak lagi dapat diserap. Air yang tergenang kemudian berkumpul di kawasan berpermukaan rendah dan mengalir dengan cepat ke daerah tersebut[1]. Sepintas terlihat bahwa banjir bandang hanya bisa terjadi di kawasan gundul dimana sudah tidak terdapat hutan sebagai daerah resapan air lagi. Namun pada kenyataannya, banjir bandang Wasior terjadi di tanah Papua yang tercatat sebagai salah satu pulau dengan kawasan hutan primer dalam kondisi baik, dimana 24 juta hektar lahannya masih berhutan. Lantas apa yang memicu “objek wisata” baru ini muncul di tanah yang “tampak” begitu subur? Ada dua penyebab utama mengapa banjir bandang bisa terjadi di Wasior, yang pertama adalah kerusakan hutan dan yang kedua adalah pemekaran pemukiman.

Antara profit dan keseimbangan alam

Para neoclassical economists, akhir-akhir ini sedang “menggilai” tanah Papua. Betapa tidak, di pulau ini tersimpan begitu banyak kekayaan alam, salah satunya ialah kayu merbau yang bernilai tinggi di pasar internasional. Kayu ini merupakan tanaman endemik Papua dan bernilai tinggi karena keawetannya. Harga kayu merbau domestik saat ini berkisar Rp 6,5 juta-Rp 7,5 juta per meter kubik tergantung kualitas kayu[2]. Sedangkan di pasar internasional sendiri harganya bisa jauh lebih mahal. Neoclassical economists memandang fenomena ini sebagai suatu kesempatan yang sayang untuk dilewatkan. Seperti dalam teori permintaan, ketika demand akan suatu barang tinggi, sedangkan jumlahnya terbatas, maka harga akan bergerak naik menyesuaikan demand tersebut. Harga kayu merbau yang sedang melambung tinggi di pasar internasional ini, membuat mereka “bernafsu” mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menggundulkan hutan tanpa sistem tebang pilih. Akibatnya, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir areal hutan di Papua dan Papua Barat menyusut lebih dari 25% dari 31,5 juta hektar menjadi 23 juta hektar[3]. Analisa citra satelit tahun 2005 hingga 2009 pun menunjukkan telah terjadi deforestasi atau alih fungsi hutan seluas lebih dari 1 juta hektar atau berkisar sekitar 250 hektar per tahun di Papua Barat[4]. Penyusutan hutan tersebut terjadi akibat penebangan secara besar-besaran tanpa memperhatikan upaya memperbaikinya kembali. Pemerintah pusat telah memberikan izin bagi 20 perusahan untuk mendapatkan hak penguasaan hutan (HPH) dengan luas total 3,5 juta hektar di Papua Barat[5]. Belum lagi keputusan Meneteri Kehutanan yang akan tetap memberikan izin pelepasan 36 kawasan hutan untuk pertambangan[6]. Semua praktik penggundulan hutan tersebut belum memperhitungkan illegal logging yang dilakukan orang-orang tidak bermoral demi keuntungan semata. Mereka semua menebang hutan secara membabi buta tanpa memperhatikan keberlanjutan kelestarian hutan yang dapat menjaga keseimbangan ekosistem Papua.

Jika hasrat untuk meraih keuntungan maksimum dengan cara melakukan pembalakan liar datang dari para pengusaha, ternyata ada juga jiwa neoclassical economists dalam diri para pejabat pemerintah. Mereka berlomba-lomba melakukan pemekaran wilayah agar bisa mendapat anggaran lebih banyak untuk melakukan pembangunan “abstrak” yang entah lari kemana. Sedikitnya ada 10 kabupaten hasil pemekaran di dalam kawasan Taman Nasional Lorentz. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO. Kondisi ini juga terjadi di Suaka Margasatwa Memberano dimana lahan seluas 1,8 juta hektar yang terdiri dari 7 kabupaten kini menjadi 11 kabupaten di dalamnya. Hutan-hutan tersebut dibabat habis untuk dibuat pemukiman, jalan, lahan pertanian dan perkebunan, tanpa memperhatikan banyak flora dan fauna yang kehilangan habitatnya.

Disinilah letak kesalahan manusia yang tidak mengindahkan adanya interdependency sumber daya alam dengan lingkungan. Para neoclassical economists sudah saatnya beralih menjadi ecological economists untuk menjaga kesinambungan ekosistem di bumi ini. Secara topografi, daerah Wasior berada dekat dengan pegunungan dengan kemiringan di atas 40%, serta memiliki tingkat kerawanan terjadinya pergerakan tanah, sehingga penebangan pohon yang dilakukan dapat menambah potensi longsor dan banjir bandang di wilayah tersebut. Selain itu, hutan di Papua mampu mengubah karbondioksida (CO2) menjadi oksigen (O2) yang dapat menyuplai hidup manusia sebanyak penduduk di seluruh benua Eropa. Jika hutan ini habis, bisa dipastikan persediaan O2 kian menipis, sementara kandungan CO2 di udara semakin tebal. Gas CO2 ini pada akhirnya dapat menyebabkan global warming yang membuat cuaca menjadi sangat ekstrem akhir-akhir ini.

Kesimpulan

Bersyukur karena telah ada para ecological economists di tanah Papua. Jiwa kepedulian terhadap lingkungan ini ditunjukkan oleh dua gubernur di Papua, yakni Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Gubernur Papua Barat Abraham Autururi yang menjamin 5,4 dari 6,2 juta hektar luas hutan konservasi di Papua untuk tidak ditebang dalam upaya mencegah pemanasan global. Ratusan kasus mengenai pembalakan liar pun telah dilaporkan ke pihak berwenang. Sayangnya, hanya beberapa saja yang ditindaklanjuti, dan hanya sedikit yang dihukum sedangkan sebagian besar lainnya dibebaskan. Perlu adanya ketegasan hukum dan kejujuran dalam menangani kasus penebangan hutan ini. Karena masih banyak masyarakat yang tidak mengerti akan arti pentingnya keberlajutan sumber daya alam dan lingkungan, sehingga kasus ini sering kali disepelekan atau justru dibebaskan demi kepentingan materi semata.

Fokus dari neoclassical economics memang berbeda dengan ecological economics. Jika dalam neoclassical economics fokus utama adalah consumer sovereignty dan efficiency, dalam ecological economics pembangunan berfokus pada individual and social health serta sustainability[7]. Menurut pandangan neoclassical economics, hal-hal yang dilakukan terhadap hutan Papua memang sudah tepat. Karena penebangan saat ini memberikan nilai lebih tinggi dibanding jika menundanya beberapa tahun lagi, karena bisa saja terjadi hal-hal yang tidak terprediksi seperti jatuhnya harga kayu merbau di pasar internasional. Namun hal ini berbeda dengan pandangan ecological economics yang lebih mementingkan interdependency alam dan lingkungan. Hutan Papua seharusnya dipertahankan demi kesejahteraan manusia, flora dan fauna disana. Di hutan Papua ini tersimpan banyak tanaman endemik dan satwa-satwa langka yang dilindungi. Hutan ini juga merupakan daerah resapan air dan penyedia oksigen bagi dunia. Oleh karena itu, keberlangsungannya perlu dipelihara untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Jika tidak, bencana alam seperti banjir bandang di Wasior, bisa terjadi setiap saat dan menelan banyak korban jiwa. Betapa tidak adanya rasa kemanusiaan jika materi yang berlimpah harus ditukar dengan ratusan nyawa.

Sayangnya, sulit untuk menetapkan valuasi terhadap hutan dalam nilai moneter, padahal dengan valuasi ini pemerintah dapat melakukan cost-benefit analysis dan memutuskan program terbaik untuk hutan, baik dari segi ekonomi, maupun dari segi ekologi. Pemerintah seharusnya sudah mulai menyusun rules seperti pollution taxes atau tradable permits yang bisa dipraktikkan kepada para perusahaan pemegang HPH di Indonesia. Sistem tebang pilih saja tidak cukup, karena sulit dalam hal pemantauan dan sarat akan suap-menyuap di kalangan petugas pemantau itu sendiri.

Upaya dua gubernur di Papua untuk menyelamatkan hutan pun seharusnya diberi apresiasi oleh pemerintah pusat dan dunia internasional. Karena sesungguhnya mereka menghadapi trade off yang sangat besar ketika mengambil keputusan mulia ini. Jika ada kompensasi nyata yang diterima rakyat Papua atas upaya penyelamatan hutan ini, bisa dipastikan penebangan hutan secara illegal dan besar-besaran bisa dikurangi. Inilah tugas pemerintah dan kita semua, untuk tetap bisa melestarikan keseimbangan ekosistem tidak hanya di tanah Papua, tetapi di seluruh hutan Indonesia. Adalah pekerjaan rumah kita untuk tidak lagi membuat tanah Papua dan tanah Indonesia menangis.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Bandang.

[2] Pembalakan Liar Masih Ancam Papua, dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/10/01/22185582/Pembalakan.Liar.Masih.Ancam.Papua.-14, pada Jumat, 1 Oktober 2010 pukul 22:18 WIB.

[3] Disampaikan oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan, Darori, dalam http://www.vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=130, pada 1 Mei 2010.

[4] JK: Hentikan Penebangan Pohon di Papua, dalam http://www.detiknews.com/read/2010/10/08/135313/1459061/10/jk-hentikan-penebangan-pohon-di-papua, pada Jumat, 08/10/2010 pukul 13:53 WIB.

[5] Loc. cit.

[6] Penebangan Liar Marak Selama Reformasi, 25 Persen Hutan Papua Hilang, dalam http://www.vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=130, pada 1 Mei 2010.

[7] Michael Common dan Sigrid Stagl, Ecological Economics An Introduction (United Kingdom: Cambridge University Press, 2005) hal. 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar