Rabu, 13 April 2011

LESSONS FROM THE FINANCIAL CRISIS FOR MONETARY POLICY IN EMERGING MARKETS

I. Pendahuluan: Paper Review

Secara umum, paper ini membahas tentang hal-hal yang terjadi sebelum dan sepanjang financial crisis serta implikasinya terhadap ilmu ekonomi dan kebijakan pemerintah. Namun secara khusus, paper ini berfokus kepada cara emerging markets (EMs) bertahan dari badai financial crisis yang menyerang hampir seluruh negara di dunia. Taylor menganalisa bahwa yang menjadi penyebab utama dari financial crisis adalah kebijakan pemerintah dan bank sentral yang menyimpang dari apa yang selama ini dilakukan selama dua dekade terakhir. Sedangkan bagaimana EMs dapat bertahan, ialah karena tidak adanya penyimpangan kebijakan di negara mereka.
Financial crisis bermula dari pergeseran kebijakan moneter yang diambil the Fed, dimana suku bunga ditetapkan terlalu rendah sehingga terjadi boom pada kredit perumahan. Taylor juga menyatakan bahwa boom dipicu oleh kekeliruan dalam perhitungan bunga kredit. Mortgage seharusnya dihitung berdasarkan long-term interest rate, sedangkan the Fed menghitungnya berdasarkan short rate sehingga bunga yang rendah dalam kredit ini menjadi menarik bagi banyak orang. Boom ini pada akhirnya “meledak” akibat adanya gagal bayar/kredit macet sehingga memicu terjadinya krisis. Faktor lain yang menyebabkan financial crisis ialah pemerintah yang mendukung Fannie Mae dan Freddie Mac Agencies untuk memperluas dan membeli mortgage securities, termasuk sub-prime mortgages yang beresiko tinggi.
Selain faktor-faktor diatas, financial crisis juga disebabkan oleh penyimpangan kebijakan yang dibuat oleh the Fed maupun pemerintah, antara lain:
1. The Fed membuat Term Auction Facility (pinjaman untuk bank komersial tanpa discount window);
2. The Fed memotong tingkat suku bunga sepanjang 2007-2008; dan
3. Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan fiskal berupa suntikan dana ke masyarakat sebanyak $100 milyar.
Kepanikan financial crisis diawali dengan gagalnya pemerintah dalam mencegah bangkrutnya Lehman Brothers pada tahun 2008. Namun Taylor menyatakan bahwa kepanikan ini bukan berasal dari gagalnya pemerintah dalam hal membantu Lehman, tetapi lebih kepada kegagalan untuk mengemukakan strategi dalam memberikan pinjaman dan bantuan kepada sektor keuangan yang sedang collapse.
Fokus dalam paper ini ialah resiliency dari EMs, seperti India, dalam menghadapi financial crisis. Taylor menyatakan bahwa EMs memiliki kebijakan makroekonomi yang tetap dipertahankan sejak tahun 1990 bahkan juga selama krisis berlangsung, sehingga shock akibat krisis tidak terlalu significant pengaruhnya terhadap perekonomian mereka. Kebijakan tersebut yakni meminimumkan pinjaman dalam bentuk foreign currencies, meningkatkan cadangan devisa, dan lebih berhati-hati dengan defisit sektor publik. Sedangkan instrument kebijakan moneter yang diterapkan adalah penargetan inflasi yang terpercaya atau lebih dikenal dengan Inflation Targeting Framework (ITF).
Implikasi financial crisis terhadap kebijakan pun dipaparkan oleh Taylor dalam paper ini. Ia merekomendasikan beberapa kebijakan yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya krisis. Kebijakan tersebut antara lain: (1) tidak memberikan stimulus fiskal kepada masyarakat, (2) mengembalikan kredibilitas dan ke-independent-an bank sentral dengan kembali kepada kebijakan-kebijakan yang mereka lakukan sebelum krisis, (3) reformasi peraturan keuangan dan (4) menciptakan peraturan baru mengenai penanggulangan risiko sistemik. Selain rekomendasi-rekomendasi tersebut, Ia juga menyarankan agar negara maju dapat menjaga interest rate-nya tetap stabil, sehingga negara-negara berkembang khususnya EMs tidak terkena shock yang mendalam akibat gap interest rate terkait apresiasi exchange rate dan menurunnya ekspor. Terakhir, Taylor pun merekomendasikan agar terdapat global target interest rate yang implementasinya mungkin bisa dimulai dari negara-negara yang tergabung di dalam G20.
Kesimpulannya, financial crisis terjadi akibat adanya kegagalan pasar yang harus diintervensi oleh pemerintah. Namun sayangnya, campur tangan pemerintah melalui berbagai kebijakan yang dibuat, menyimpang dari teori dalam ilmu ekonomi yang selama dua dekade terakhir ini telah membawa pertumbuhan dunia. Akibatnya campur tangan pemerintah justru membuat krisis semakin panjang dan bertambah parah. Bercermin pada EMs yang sukses melewati badai financial crisis, Taylor menyarankan agar perekonomian kembali kepada mekanisme pasar (Adam Smith at home and abroad) dengan segala penyesuaiannya terhadap peningkatan globalisasi.

II. Analisa Jurnal Pendukung

Paper utama membahas dua hal penting terkait financial crisis, yaitu: (1) penyebab utama financial crisis akibat kekeliruan kebijakan yang dibuat oleh the Fed dan (2) bagaimana EMs dapat bertahan dari serangan financial crisis. Berikut adalah pro dan kontra dari berbagai jurnal.
II.1 Penyebab Utama Financial Crisis
Rendahnya suku bunga yang ditetapkan the Fed sepanjang 2002-2006 dianggap Taylor sebagai pemicu terjadinya financial crisis. Hal serupa dijelaskan oleh Adrian dan Shin (2008), dimana tingkat bunga yang rendah dapat menurunkan cost of funding di semua pasar. Akibatnya, bank mengambil risiko kredit yang lebih besar serta kehilangan standar jumlah pemberian pinjaman. Hal ini berujung kepada pengembangan neraca bank-bank di Amerika akibat peningkatan aset dari sisi loan. Ketika terjadi kredit macet, otomatis nilai aset berkurang drastis dan hal ini menyebabkan terjadinya financial crisis.
Opini Taylor mengenai kesalahan perhitungan bunga kredit perumahan dengan menggunakan short-term interest rates juga didukung oleh Greenspan (2010). Menurutnya, harga perumahan di Amerika lebih dekat hubungannya dengan long-term rates. Sedangkan terdapat hubungan yang lemah antara suku bunga jangka pendek dan jangka panjang selama bertahun-tahun. Hal ini membuktikan bahwa boom akibat naiknya permintaan kredit pada sektor perumahan adalah kesalahan the Fed yang tidak memperhitungkan hubungan antar suku bunga ini.
Di sisi lain, Bernanke (2010) menyatakan bahwa the Fed sama sekali tidak salah dalam mengambil keputusan, terutama terkait rendahnya federal funds rate pada tingkat 1.75% (2001) dan terus berfluktuasi (5.25% di pertengahan 2006) hingga di-cut lagi pada pertengahan 2007 sampai tersisa hanya sekitar 0.1% pada akhir tahun 2009. Meskipun pada periode 2002-2006, suku bunga berada dibawah Taylor rule hingga mencapai 200 basis poin (Taylor, 2007), namun hal ini bukanlah bukti bahwa the Fed salah mengambil kebijakan atau menyimpang dari teori dalam ilmu ekonomi. Menurutnya, penetapan suku bunga berdasarkan Taylor rule tidak fleksibel dan hanya dapat bekerja jika memenuhi asumsi-asumsi tertentu .
Saat the Fed memotong suku bunganya sampai level 1.75% di tahun 2001, sedang terjadi shock akibat serangkaian peristiwa seperti dot-comm boom, September 11 dan serangan terhadap Irak yang mengguncang tingkat inflasi dan output Amerika. Kebijakan moneter yang sangat bergantung pada kedua variabel ini tidak tercermin di dalam Taylor rule. Oleh karena itu, The Fed lebih memilih menggunakan Taylor rule dengan inflation forecasts sebagai acuan penetapan suku bunga dari pada menggunakan the standard Taylor rule yang kurang akurat dalam meramalkan kondisi perekonomian masa depan.
Bernanke juga menambahkan tingginya permintaan pada sektor properti bukanlah disebabkan oleh rendahnya suku bunga jangka pendek, melainkan oleh murahnya down payment, tersedianya berbagai jenis kredit perumahan yang menarik, serta menurunnya standardisasi dalam pemberian kredit (kredit pada kalangan NINJA). Kesimpulannya, jelas Bernanke menolak bahwa financial crisis terjadi akibat kesalahan the Fed.
King (2010) pun menyatakan bahwa financial crisis bukanlah disebabkan oleh rendahnya federal funds rate, melainkan adanya trade imbalances antar negara di dunia. King menjelaskan teori ini dengan ilustrasi “Sudoku for economists” dimana suatu negara tidak bisa memilih kebijakan yang bertentangan dalam waktu yang bersamaan. Ketika Amerika Serikat ingin mencapai full employment levels of GDP, sebagai low-saving country, Amerika tidak mungkin mengurangi trade deficit-nya. Akibatnya, penambahan capital akan meningkatkan stock of international assets dan liability positions, sehingga sewaktu-waktu bisa menyebabkan jatuhnya “menara” dan berakibat pada terjadinya krisis global.
II.2. Ketahanan Emerging Markets dari Serangan Financial Crisis
Menurut Taylor, inflation targeting yang terpercaya dapat membuat EMs bertahan dari gejolak financial crisis. Penargetan inflasi melalui interest rate yang dilakukan membuat Taylor merekomendasikan negara maju untuk memiliki interest rate yang stabil guna mencegah adanya gap interest rate yang bisa berdampak pada apresiasi mata uang EMs dan menurunnya ekspor.
Dalam Frankel (2010), kesuksesan negara maju dalam menerapkan inflation targeting membuat negara berkembang khususnya EMs merubah rezim kebijakan moneternya dari exchange rate targeting menjadi inflation targeting (IT) . Instrumen kebijakan ini dinilai lebih cocok dengan EMs karena dapat membagi loss yang ditimbulkan oleh krisis ke dalam inflasi dan output. Artinya, saat terjadi supply shock, ke-flexible-an IT dapat menitikberatkan loss kepada kenaikan harga, sehingga penurunan nominal GDP bukan disebabkan oleh penurunan output, melainkan oleh penurunan harga yang lebih terlihat di dalam real GDP.
Namun menurut Calvo (2006), kesuksesan interest rate tweaking (IRT) dalam EMs hanya terjadi pada kondisi perekonomian yang stabil . Dalam keadaan krisis, interest rate yang ditetapkan bank sentral hanya mempengaruhi jumlah likuiditas dengan porsi sedikit. Dan hal ini tidak cukup untuk meng-intervensi exchange rate agar tetap stabil. Maka saat krisis, EMs perlu menggeser instrument kebijakan IRT ke foreign exchange intervention (FXI).
Ketika krisis terjadi, exchange rate seketika dapat terdepresiasi tajam, tapi dengan instrumen ini, exchange rate volatility dapat diturunkan sehingga mengurangi shock pada EMs. FXI pun dapat digunakan untuk mengantisipasi terjadinya high volatility. Saat bank sentral telah melakukan freezing exchange rate tetapi high volatility tidak terjadi, maka bank sentral dapat memperbaiki exchange rate dengan cara membatasi fluktuasinya.
Namun, apabila tidak ada kesiapan dari masyarakat, perubahan instumen kebijakan secara mendadak ini hanya akan meningkatkan volatilitas exchange rate dan menghentikan pertumbuhan ekonomi EMs secara tiba-tiba. Oleh karena itu, diperlukan kesiagaan dari masyarakat terhadap pergantian instrumen kebijakan moneter saat keadaan ekonomi sedang bergejolak.
Kesimpulan dari analisa berbagai jurnal ini ialah terdapat banyak argumen mengenai penyebab terjadinya financial crisis. Sayangnya, setelah hampir tiga tahun sejak krisis terjadi belum ada kesepakatan penuh antara para pembuat kebijakan dan peneliti mengenai penyebab utama terjadinya financial crisis ini . Sementara itu kunci kesuksesan EMs dalam menghadapi krisis adalah dengan menerapkan ITF. Walaupun demikian, ada saat tertentu dimana penerapannya tidak efektif dan harus beralih ke instrument kebijakan moneter yang lain.


III. Tinjauan Kasus di Indonesia

Sebagai bagian dari perekonomian dunia, Indonesia juga mengalami pukulan yang hebat saat financial crisis terjadi. Runtuhnya sektor keuangan di Amerika Serikat menimbulkan kecemasan bagi para investor untuk menempatkan asetnya pada sektor keuangan, terutama di negara-negara yang berisiko tinggi seperti EMs termasuk Indonesia. Hal ini membuat mereka menarik dananya keluar dari Indonesia sehingga menyebabkan terjadinya excess likuiditas di pasar uang antar bank (PUAB). Sayangnya, kelebihan likuiditas ini tidak langsung digunakan sebagai investasi karena bank-bank tidak mau menyalurkan kredit akibat adanya kenaikan risiko usaha dan perusahaan pun tidak mau berinvestsi karena suku bunga kredit yang masih tinggi dan adanya penurunan permintaan agregat. Hal ini ditandai dengan menurunnya volume transaksi PUAB pada triwulan IV 2008 yang berlanjut hingga triwulan I 2009 dan peningkatan pertumbuhan Non Performing Loans (NPLs) sampai triwulan II 2009.
Capital outflow yang terjadi membuat Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan. Banyaknya aliran dana yang keluar membuat mata uang rupiah terdepresiasi sehingga impor berkurang. Melemahnya nilai tukar pun tidak berdampak pada peningkatan ekspor dikarenakan adanya penurunan demand terutama dari negara-negara utama tujuan ekspor Indonesia yang juga terkena dampak krisis global seperti Jepang, Amerika Serikat, Singapura, China dan India. Berdasarkan neraca pembayaran Indonesia, terjadi penurunan ekspor sebesar 14.4% dan penurunan impor sebesar 27.74% sepanjang tahun 2008-2009.
Dalam upaya memulihkan perekonomian Indonesia, sebagaimana kebijakan yang dilakukan bank sentral EMs lainnya, Bank Indonesia (BI) pun menjalankan kebijakan moneter melalui penerapan Inflation Targeting Framework (ITF) untuk mengupayakan pencapaian target inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Strategi ITF ini dilaksanakan melalui pengendalian BI Rate untuk mendorong tumbuhnya investasi dan menjaga inflasi tetap stabil.
Seperti yang dilakukan the Fed, BI menggunakan proyeksi inflasi kedepan (Taylor rule with inflation forecasts) dalam penetapan BI Rate. Dalam Grafik 1 BI Rate terus mengalami penurunan sepanjang 2006 sampai akhir triwulan II 2008. Hal ini dikarenakan adanya proyeksi inflasi rendah seiring dengan terjadinya financial crisis yang menyebabkan agregat demand berkurang dan berimplikasi pula pada turunnya harga minyak dunia.















Namun memasuki awal triwulan II hingga akhir 2008, BI Rate kembali ditingkatkan karena adanya proyeksi inflasi tinggi yang disebabkan oleh naiknya harga minyak dunia yang mencapai level tertinggi pada Juli 2008 dan dampaknya pada peningkatan permintaan agregat. Selanjutnya memasuki awal 2009 sampai triwulan III, BI rate mengalami penurunan yang cukup significant sampai level 6.5% (stabil sampai sekarang) dikarenakan redanya tekanan inflasi akibat krisis di pasar keuangan yang telah meyebabkan harga minyak turun cukup tajam. Selain itu dampak krisis global tahun 2008 yang mulai terasa, antara lain dengan melambatnya permintaan agregat yang menyebabkan turunnya harga komoditas dunia, juga membuat BI menurunkan BI Rate nya cukup tajam.
Penetapan BI Rate berdasarkan proyeksi inflasi ini terbukti bisa membawa perekonomian Indonesia ke target inflasi yang diharapkan. Inflasi rendah pada akhir 2009 di level 2.78% merupakan respon positif atas penurunan BI Rate sepanjang tahun 2009. Inflasi yang rendah ini paling banyak disumbang oleh kelompok barang administered (inflasi mencapai -3%) sebagai respon dari penurunan harga BBM bersubsidi di awal 2009. Sedangkan kelompok barang volatile food dan imported inflation juga mengalami penurunan harga dibawah rata-rata yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah untuk tetap menjaga kecukupan kebutuhan pokok serta terjadinya deflasi di negara-negara utama mitra dagang Indonesia.

IV. Kesimpulan dan Penutup

Financial crisis telah memberi sentiment negatif terhadap perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Dalam upaya pemulihannya, Bank Indonesia telah mengambil kebijakan moneter yang ekspansif melalui ITF untuk mencapai sasaran kestabilan harga dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini pun terbukti berhasil dengan inflasi aktual sesuai target serta pertumbuhan tahun 2009 sebesar 4.5%, di saat ada banyak negara yang mengalami pertumbuhan negatif.
Sebagai EMs dengan growth tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India, Indonesia pun turut menyumbang peran dalam upaya pemulihan perekonomian dunia pasca krisis global. Kuatnya permintaan negara EMs, terutama China, mendorong harga komoditas naik dan menyebabkan pertumbuhan bagi negara-negara lainnya. Jelas bahwa EMs memegang peranan penting dalam perekonomian dunia. Melalui kebijakan moneter yang diterapkan, EMs hanya memerlukan waktu sedikit untuk dapat pulih dari badai financial crisis. EMs pun dapat mendorong perekonomian global untuk bangkit kembali.

V. Daftar Pustaka

Adrian, Tobias dan Hyun Song Shin. 2008. Financial Intermediaries, Financial Stability and Monetary Policy. Federal Reserve Bank of New York Staff Reports, no. 346.
Bernanke, Ben S. 2010. Monetary Policy and the Housing Bubble. Remarks at the Annual Meeting of the American Economic Association. January 3. Atlanta, Georgia.
Calvo, Guillermo A. 2006. Monetary policy challenges in emerging markets : sudden stop, liability dollarization, and lender of last resort. Inter-american Development Bank and National Bureau of Economic Research. Working paper series: 596. Washington, DC.
Frankel, Jeffrey A. 2010. Monetary Policy in Emerging Markets: A Survey. National Bureau of Economic Research. Working Paper series: 16125. Cambridge.
Greenspan, Alan. 2010. The Crisis. Mimeo. Greenspan Associates LLC. di dalam Central Banking Lessons from the Crisis (Approved by José Viñals). 2010. Monetary and Capital Markets Department, International Monetary Fund.
King, Mervyn. 2010. Speech at the University of Exeter. January 19.
Laporan Perekonomian Indonesia 2007. Bank Indonesia.
Laporan Perekonomian Indonesia 2008. Bank Indonesia.
Laporan Perekonomian Indonesia 2009. Bank Indonesia.
Taylor, John B. 2010. Lesson from The Financial Crisis for Monetary Policy in Emerging Markets. Remarks at the Platinum Jubilee celebration reserve Bank of India. February 24. Mumbai.

Kamis, 28 Oktober 2010

Tanah Papua Menangis

Indonesia akhir-akhir ini bagaikan menjadi tujuan utama objek wisata atas nama “bencana alam”. Dari mulai tsunami, gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, hingga banjir tersedia di bumi pertiwi ini. “Wisata” terbaru nusantara yang menelan sedikitnya 108 orang korban jiwa dan 76 orang lainnya yang masih belum dapat ditemukan, terjadi di Wasior, ibu kota Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Pada Senin 4 Oktober 2010 kemarin, tanah Papua ini “dikunjungi” banjir bandang yang langsung meluluh lantakkan Wasior beserta isinya. Bencana ini berawal dari turunnya hujan deras yang mengakibatkan adanya danau dan sungai (Wasior dan Dusner) yang meluap diatas gunung, seketika itu juga air dengan ketinggian 3–5 meter mengalir deras ke pemukiman warga yang letaknya lebih rendah, menuju teluk Wondama dan menyapu rumah-rumah penduduk bak tsunami Aceh tahun 2004.

Bencana ini dikenal sebagai banjir bandang, yakni banjir di permukaan rendah yang terjadi akibat hujan yang turun secara terus-menerus dan muncul secara tiba-tiba. Banjir ini terjadi saat penjenuhan air terhadap tanah di suatu wilayah yang berlangsung dengan sangat cepat sehingga tidak lagi dapat diserap. Air yang tergenang kemudian berkumpul di kawasan berpermukaan rendah dan mengalir dengan cepat ke daerah tersebut[1]. Sepintas terlihat bahwa banjir bandang hanya bisa terjadi di kawasan gundul dimana sudah tidak terdapat hutan sebagai daerah resapan air lagi. Namun pada kenyataannya, banjir bandang Wasior terjadi di tanah Papua yang tercatat sebagai salah satu pulau dengan kawasan hutan primer dalam kondisi baik, dimana 24 juta hektar lahannya masih berhutan. Lantas apa yang memicu “objek wisata” baru ini muncul di tanah yang “tampak” begitu subur? Ada dua penyebab utama mengapa banjir bandang bisa terjadi di Wasior, yang pertama adalah kerusakan hutan dan yang kedua adalah pemekaran pemukiman.

Antara profit dan keseimbangan alam

Para neoclassical economists, akhir-akhir ini sedang “menggilai” tanah Papua. Betapa tidak, di pulau ini tersimpan begitu banyak kekayaan alam, salah satunya ialah kayu merbau yang bernilai tinggi di pasar internasional. Kayu ini merupakan tanaman endemik Papua dan bernilai tinggi karena keawetannya. Harga kayu merbau domestik saat ini berkisar Rp 6,5 juta-Rp 7,5 juta per meter kubik tergantung kualitas kayu[2]. Sedangkan di pasar internasional sendiri harganya bisa jauh lebih mahal. Neoclassical economists memandang fenomena ini sebagai suatu kesempatan yang sayang untuk dilewatkan. Seperti dalam teori permintaan, ketika demand akan suatu barang tinggi, sedangkan jumlahnya terbatas, maka harga akan bergerak naik menyesuaikan demand tersebut. Harga kayu merbau yang sedang melambung tinggi di pasar internasional ini, membuat mereka “bernafsu” mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menggundulkan hutan tanpa sistem tebang pilih. Akibatnya, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir areal hutan di Papua dan Papua Barat menyusut lebih dari 25% dari 31,5 juta hektar menjadi 23 juta hektar[3]. Analisa citra satelit tahun 2005 hingga 2009 pun menunjukkan telah terjadi deforestasi atau alih fungsi hutan seluas lebih dari 1 juta hektar atau berkisar sekitar 250 hektar per tahun di Papua Barat[4]. Penyusutan hutan tersebut terjadi akibat penebangan secara besar-besaran tanpa memperhatikan upaya memperbaikinya kembali. Pemerintah pusat telah memberikan izin bagi 20 perusahan untuk mendapatkan hak penguasaan hutan (HPH) dengan luas total 3,5 juta hektar di Papua Barat[5]. Belum lagi keputusan Meneteri Kehutanan yang akan tetap memberikan izin pelepasan 36 kawasan hutan untuk pertambangan[6]. Semua praktik penggundulan hutan tersebut belum memperhitungkan illegal logging yang dilakukan orang-orang tidak bermoral demi keuntungan semata. Mereka semua menebang hutan secara membabi buta tanpa memperhatikan keberlanjutan kelestarian hutan yang dapat menjaga keseimbangan ekosistem Papua.

Jika hasrat untuk meraih keuntungan maksimum dengan cara melakukan pembalakan liar datang dari para pengusaha, ternyata ada juga jiwa neoclassical economists dalam diri para pejabat pemerintah. Mereka berlomba-lomba melakukan pemekaran wilayah agar bisa mendapat anggaran lebih banyak untuk melakukan pembangunan “abstrak” yang entah lari kemana. Sedikitnya ada 10 kabupaten hasil pemekaran di dalam kawasan Taman Nasional Lorentz. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO. Kondisi ini juga terjadi di Suaka Margasatwa Memberano dimana lahan seluas 1,8 juta hektar yang terdiri dari 7 kabupaten kini menjadi 11 kabupaten di dalamnya. Hutan-hutan tersebut dibabat habis untuk dibuat pemukiman, jalan, lahan pertanian dan perkebunan, tanpa memperhatikan banyak flora dan fauna yang kehilangan habitatnya.

Disinilah letak kesalahan manusia yang tidak mengindahkan adanya interdependency sumber daya alam dengan lingkungan. Para neoclassical economists sudah saatnya beralih menjadi ecological economists untuk menjaga kesinambungan ekosistem di bumi ini. Secara topografi, daerah Wasior berada dekat dengan pegunungan dengan kemiringan di atas 40%, serta memiliki tingkat kerawanan terjadinya pergerakan tanah, sehingga penebangan pohon yang dilakukan dapat menambah potensi longsor dan banjir bandang di wilayah tersebut. Selain itu, hutan di Papua mampu mengubah karbondioksida (CO2) menjadi oksigen (O2) yang dapat menyuplai hidup manusia sebanyak penduduk di seluruh benua Eropa. Jika hutan ini habis, bisa dipastikan persediaan O2 kian menipis, sementara kandungan CO2 di udara semakin tebal. Gas CO2 ini pada akhirnya dapat menyebabkan global warming yang membuat cuaca menjadi sangat ekstrem akhir-akhir ini.

Kesimpulan

Bersyukur karena telah ada para ecological economists di tanah Papua. Jiwa kepedulian terhadap lingkungan ini ditunjukkan oleh dua gubernur di Papua, yakni Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Gubernur Papua Barat Abraham Autururi yang menjamin 5,4 dari 6,2 juta hektar luas hutan konservasi di Papua untuk tidak ditebang dalam upaya mencegah pemanasan global. Ratusan kasus mengenai pembalakan liar pun telah dilaporkan ke pihak berwenang. Sayangnya, hanya beberapa saja yang ditindaklanjuti, dan hanya sedikit yang dihukum sedangkan sebagian besar lainnya dibebaskan. Perlu adanya ketegasan hukum dan kejujuran dalam menangani kasus penebangan hutan ini. Karena masih banyak masyarakat yang tidak mengerti akan arti pentingnya keberlajutan sumber daya alam dan lingkungan, sehingga kasus ini sering kali disepelekan atau justru dibebaskan demi kepentingan materi semata.

Fokus dari neoclassical economics memang berbeda dengan ecological economics. Jika dalam neoclassical economics fokus utama adalah consumer sovereignty dan efficiency, dalam ecological economics pembangunan berfokus pada individual and social health serta sustainability[7]. Menurut pandangan neoclassical economics, hal-hal yang dilakukan terhadap hutan Papua memang sudah tepat. Karena penebangan saat ini memberikan nilai lebih tinggi dibanding jika menundanya beberapa tahun lagi, karena bisa saja terjadi hal-hal yang tidak terprediksi seperti jatuhnya harga kayu merbau di pasar internasional. Namun hal ini berbeda dengan pandangan ecological economics yang lebih mementingkan interdependency alam dan lingkungan. Hutan Papua seharusnya dipertahankan demi kesejahteraan manusia, flora dan fauna disana. Di hutan Papua ini tersimpan banyak tanaman endemik dan satwa-satwa langka yang dilindungi. Hutan ini juga merupakan daerah resapan air dan penyedia oksigen bagi dunia. Oleh karena itu, keberlangsungannya perlu dipelihara untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Jika tidak, bencana alam seperti banjir bandang di Wasior, bisa terjadi setiap saat dan menelan banyak korban jiwa. Betapa tidak adanya rasa kemanusiaan jika materi yang berlimpah harus ditukar dengan ratusan nyawa.

Sayangnya, sulit untuk menetapkan valuasi terhadap hutan dalam nilai moneter, padahal dengan valuasi ini pemerintah dapat melakukan cost-benefit analysis dan memutuskan program terbaik untuk hutan, baik dari segi ekonomi, maupun dari segi ekologi. Pemerintah seharusnya sudah mulai menyusun rules seperti pollution taxes atau tradable permits yang bisa dipraktikkan kepada para perusahaan pemegang HPH di Indonesia. Sistem tebang pilih saja tidak cukup, karena sulit dalam hal pemantauan dan sarat akan suap-menyuap di kalangan petugas pemantau itu sendiri.

Upaya dua gubernur di Papua untuk menyelamatkan hutan pun seharusnya diberi apresiasi oleh pemerintah pusat dan dunia internasional. Karena sesungguhnya mereka menghadapi trade off yang sangat besar ketika mengambil keputusan mulia ini. Jika ada kompensasi nyata yang diterima rakyat Papua atas upaya penyelamatan hutan ini, bisa dipastikan penebangan hutan secara illegal dan besar-besaran bisa dikurangi. Inilah tugas pemerintah dan kita semua, untuk tetap bisa melestarikan keseimbangan ekosistem tidak hanya di tanah Papua, tetapi di seluruh hutan Indonesia. Adalah pekerjaan rumah kita untuk tidak lagi membuat tanah Papua dan tanah Indonesia menangis.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Bandang.

[2] Pembalakan Liar Masih Ancam Papua, dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/10/01/22185582/Pembalakan.Liar.Masih.Ancam.Papua.-14, pada Jumat, 1 Oktober 2010 pukul 22:18 WIB.

[3] Disampaikan oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan, Darori, dalam http://www.vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=130, pada 1 Mei 2010.

[4] JK: Hentikan Penebangan Pohon di Papua, dalam http://www.detiknews.com/read/2010/10/08/135313/1459061/10/jk-hentikan-penebangan-pohon-di-papua, pada Jumat, 08/10/2010 pukul 13:53 WIB.

[5] Loc. cit.

[6] Penebangan Liar Marak Selama Reformasi, 25 Persen Hutan Papua Hilang, dalam http://www.vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=130, pada 1 Mei 2010.

[7] Michael Common dan Sigrid Stagl, Ecological Economics An Introduction (United Kingdom: Cambridge University Press, 2005) hal. 10.

Kamis, 07 Oktober 2010

Strategic Action Unilever dalam menghadapi P & G

Melihat adegan menggoda Ariel dan Luna Maya dalam iklan sabun Lux yang baru-baru ini muncul, atau pasangan awet yang membuat iri, Memes dan Addie MS dalam iklan Pond’s Age Miracle, sampai cerita keluarga harmonis yang selalu berbagi kebahagiaan dengan teh Sariwangi, mungkin hanya sebagian kecil bentuk gambaran “kesempurnaan” yang ditawarkan Unilever melalui produk-produk unggulannya. Perusahaan Eropa yang telah lama bergerak dalam bisnis home and personal care product ini, telah didirikan di Indonesia sejak tahun 1933. Maka tidak diragukan lagi jika PT Unilever Indonesia Tbk telah berhasil meraih posisi market leader di Indonesia untuk kategori produk-produk perawatan rambut, wajah dan tubuh.

Unilever Indonesia unggul dengan brand-brand andalannya dalam kategori personal care product seperti Sunsilk, Lifebuoy, Clear dan Dove untuk produk perawatan rambut, produk perawatan wajah seperti Pond’s, Citra dan Vaseline, produk perawatan tubuh dan gigi seperti Lux, Dove, Lifebuoy dan Pepsodent, serta parfum dan deodorant seperti Axe dan Rexona. Unilever juga unggul dengan brand-brand home care product-nya seperti Rinso, Molto, dan Sunlight. Keseluruhan home and care product ini merupakan 78% dari total seluruh penjualan Unilever. Sisa penjualan sebanyak 22% kemudian didapat dari food and ice cream product, seperti Sari Wangi, Blue Band, Royco, Buavita, Bango dan Wall’s[1].

Setelah lama menguasai sebagian besar pangsa pasar dalam negeri, akhirnya Unilever menemukan saingan terberatnya ketika perusahaan Amerika Procter & Gamble (P & G) masuk ke Indonesia pada tahun 1989. Dengan membawa produk-produk unggulannya yang telah diterima di pasar internasional, P & G mencoba menawarkan brand-brand ternamanya di Indonesia seperti Pantene, Rejoice, Head & Shoulders dan Olay.

Banyak strategic action yang digunakan P & G untuk memperluas pangsa pasarnya di Indonesia, antara lain dengan terus melakukan inovasi melalui team research and development-nya (R n D) yang kuat. Melalui studi kelayakan yang komprehensif dengan berpatokan pada CDI (Category Development Index), P & G berusaha untuk selalu mengikuti perkembangan dan kebutuhan pasar. Hasil R n D tersebut kemudian memberikan inovasi baru dalam product differentiation untuk merebut market share lebih banyak. Product differentiation yang dihasilkan antara lain “Rejoice 3 in 1” yang diluncurkan untuk mengakomodasi kebutuhan konsumen yang ingin serba cepat sehingga kebutuhan akan shampoo, conditioner dan creambath dapat tercukupi hanya dengan 1 jenis produk saja, selain itu ada pula “Gillette Vector Plus” yakni pisau cukur dengan dua mata pisau atau lebih untuk memberikan hasil cukur yang lebih cepat, mudah, bersih, dan merata. Bukan hanya product differentiation yang dilakukan P & G untuk meraih pangsa pasar Indonesia, tetapi mereka juga melakukan 2nd degree price discrimination, yakni strategi penentuan harga dengan mengemas produk dalam berbagai package, dari mulai kemasan sachet yang ekonomis sampai kemasan yang lebih eksklusif. Hal ini dilakukan agar seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati produk P & G tanpa terkendala oleh harga yang tinggi. Selain strategi above the line, P & G juga aktif melakukan strategi below the line–nya dengan melakukan berbagai promo produk, seperti rangkaian kegiatan keramas gratis Rejoice di mall-mall atau di tempat umum lainnya. Hasilnya setelah satu decade berada di pasar dalam negeri, P & G mampu meraih 32% pangsa pasar untuk kategori fast moving consumer product[2].

Dengan masuknya P & G dan melihat perkembangannya yang begitu pesat, Unilever tentunya tidak mau ketinggalan dan ingin tetap mempertahankan posisisnya sebagai market leader untuk produk-produk home and personal care di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, strategic action yang dilakukan unilever sangat gencar demi mempertahankan market share-nya yang saat itu hanya tinggal 60%[3].

Tidak ingin kalah dengan P & G, Unilever juga menerapkan strategi price discrimination untuk produk-produknya. Penetapan harga yang dilakukan Unilever lebih kuat karena mereka bukan hanya sekedar mengemas produknya dalam kemasan ekonomis atau eksklusif, namun mereka juga memberi nilai tambah dalam setiap kemasan tersebut. Contohnya dalam produk Pond’s, Unilever memiliki Pond’s Whitening Cream yang harganya lebih terjangkau dari Pond’s Flawless White, namun Pond’s Flawless White mengandung formula ekstra yang di-claim bisa membuat kulit putih hanya dalam 7 hari, formula inilah yang menjadi nilai tambah bagi konsumen ketika mereka membeli produk yang sama dengan harga yang lebih mahal.

Selain itu, Unilever juga tidak kalah hebatnya dalam melakukan inovasi untuk product differentiation-nya. Brand proliferation dilakukan untuk mengisi semua segmen yang ada di pasar agar tidak ada celah bagi new entrant untuk masuk ke pasar. Contohnya multiple brand dalam produk sabun mandi yang dimiliki Unilever, yakni Lux, Lifebuoy, dan Dove yang hampir menguasai 72% pangsa pasar sabun cair di Indonesia. Hasil riset MARS Indonesia (Indonesian Consumer Profile 2008) menyebutkan Lux sebagai market leader dengan perolehan market share sebanyak 39,66%. Sedangkan Lifebuoy menempel ketat di urutan kedua dengan perolehan 31,57%. Sementara Dove, menduduki peringkat keempat dengan perolehan total market share 2,88%, yang masih berada di bawah Biore yang diproduksi oleh PT Kao Indonesia dengan 10,23%. Perolehan market share yang besar untuk Lux dan Lifebuoy ini, dikarenakan Unilever telah berhasil membangun branding yang baik untuk kedua merk tersebut, yakni sabun kecantikan untuk Lux dan sabun kesehatan untuk Lifebuoy. Dengan perolehan pangsa pasar yang besar ini, sulit bagi new entrant untuk masuk ke pasar. Perusahaan yang telah ada di pasar pun hanya akan menjadi follower bagi Unilever. Mereka antara lain Gatsby, produksi PT Mandom Indonesia, Nuvo, produksi PT Wings, dan Cussons, produk andalan dari PT Cussons Indonesia.

Tidak berhenti sampai product differentiation yang paling mendekati preferensi konsumen, Unilever juga berusaha menaikkan kembali market share-nya dengan cara promosi produk melalui iklan yang sangat gencar. Persuasive dan predatory advertising merupakan strategi promosi yang digunakan Unilever untuk memperkenalkan produk-produknya kepada konsumen, menjaring konsumen baru, serta menarik kembali konsumen yang telah berpaling ke produk lain. Iklan-iklan yang dikeluarkan Unilever selalu tampil dengan konsep dan gaya baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Misalnya saat semua iklan detergen menampilkan baju yang bersih dan bebas noda, Rinso justru menampilkan anak-anak yang sedang bermain dengan bajunya yang kotor. Dengan kampanye “berani kotor itu baik”, Rinso mengajarkan anak-anak untuk tetap kreatif dalam bermain tanpa harus takut bajunya kotor, karena untuk urusan kotor, Rinso-lah yang akan menanganinya. Dalam iklan ini, jelas Unilever ingin memberikan sesuatu yang berbeda kepada konsumen. Rinso yang tadinya hanya sekedar detergen, kini brand-nya berubah menjadi detergen yang mendukung kreativitas anak-anak. Strategi iklan seperti ini, bertujuan untuk menginformasikan kepada konsumen bahwa brand-brand Unilever saat ini bukan hanya sekedar merk, tapi juga membawa misi sosial untuk pengembangan masyarakat. Selain kampanye “berani kotor itu baik” milik Rinso, Unilever juga memiliki program-program sosial lainnya seperti kampanye cuci tangan dengan sabun milik Lifebuoy, program edukasi kesehatan gigi dan mulut milik Pepsodent, program pelestarian makanan tradisional milik Bango, serta program memerangi kelaparan dan membantu anak Indonesia yang kekurangan gizi milik Blue Band. Misi-misi sosial tersebut bertujuan untuk mengajak konsumen ikut berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat sehingga mereka memiliki rasa loyalitas tersendiri terhadap brand-brand Unilever. Dengan rasa loyalitas ini, konsumen diharapkan tidak cepat berpindah kepada produk lain ketika sedang diadakan promo atau berbagai penawaran menarik lainnya.

Saat ini persaingan antara Unilever dan P & G pun semakin ketat. Hal ini terbukti dengan price war yang mereka lakukan dengan cara mem-mark down harga-harga produk unggulan mereka untuk meningkatkan market share masing-masing. Strategi ini dilakukan karena mereka sadar bahwa konsumen Indonesia sangat sensitif terhadap harga. Analis CIMB-GK Securities telah mengunjungi hypermarket, Carrefour untuk melihat langsung bagaimana perang harga kedua produsen tersebut[4]. P & G diketahui memangkas harga produk unggulannya, Pantene dan Rejoice sebanyak 26% untuk botol 200 ml dan diskon 17,5% untuk botol 180 ml Head & Shoulder. Sementara Unilever memangkas harga shampo Dove hingga 33% untuk ukuran 360 ml dan memberi hadiah 90 ml Sunsilk dan Clear untuk setiap pembelian botol 180 ml. Perang harga yang dimainkan kedua produsen ini nyatanya memang belum cukup untuk menaikkan market share mereka sampai seperti satu dekade yang lalu. Akibat banyaknya pesaing baru yang masuk pasar, seperti Wings, Kao, Cussons, Lion, dsb., market share Unilever saat ini hanya tinggal 22%-24%[5]. Dan dengan berbagai strategic action tersebut, Unilever hanya mampu menaikkan pangsa pasar sebesar 3%[6].

Meskipun pangsa pasar Unilever untuk home and personal care product saat ini telah mengalami penurunan tajam dibanding 10 tahun yang lalu, namun ternyata Unilever masih memiliki lini bisnis lain yang siap menjadi primadona di pasaran, yakni food and ice cream product. Riset menunjukkan bahwa pangsa pasar food Unilever bisa naik dari posisi sekarang 25%-26% menjadi 32%-33% dalam 4 tahun ke depan dengan produk jus dan es krim yang menjadi fokus pertumbuhan[7].

Dengan lini bisnis baru ini, nampaknya Unilever tidak perlu khawatir akan persaingan dari P & G, karena P & G belum melebarkan sayapnya sampai di kategori produk ini. Meskipun begitu, Unilever harus tetap waspada akan persaingan dari produsen-produsen lain seperti Danone, Wings, Indofood, Diamond, dsb. Strategi yang akan dilakukan Unilever untuk menghadapi persaingan dalam bisnis makanan ini tampaknya masih akan sama dengan strategi Unilever untuk memenangkan persaingannya dengan produsen home and personal care product lainnya, yakni dengan membangun brand awareness kepada konsumen melalui penyampaian misi-misi sosial yang dibawa oleh brand food Unilever. Dengan begitu konsumen diharapkan tidak hanya sekedar mengonsumsi produk-produk Unilever, namun juga turut serta dalam program pengembangan masayarakat. Melalui strategi ini pula, Unilever membuktikan bahwa perusahaannya bukan hanya menjadi produsen yang mengerti kebutuhan konsumen, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan orang banyak.



[1] Annual Report PT Unilever Indonesia Tbk tahun 2007

[2] Akbar Faizal, Ishack Rafick, dan Albert Weldison Nonto,”Rahasia Dapur Juragan Merek” (SWA No. 17/XVII/23 Agustus – 5 September 2001)

[3] Loc. Cit.

[4] Nurul Qomariyah, “Unilever dan Perang Harga dengan P&G”, (detikFinance) Senin, 07/09/2009 10:14 WIB

[5] Kim Eng, Riset per 18 Februari 2010, CLSA Asia Pacific Markets Swati Chopra, dalam Bataviase.com

[6] Katarina Setiawan, Analis PT Kim Eng Securities, dalam Bataviase.com

[7] Kim Eng, op. cit., dalam Bataviase.com