Kamis, 28 Oktober 2010

Tanah Papua Menangis

Indonesia akhir-akhir ini bagaikan menjadi tujuan utama objek wisata atas nama “bencana alam”. Dari mulai tsunami, gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, hingga banjir tersedia di bumi pertiwi ini. “Wisata” terbaru nusantara yang menelan sedikitnya 108 orang korban jiwa dan 76 orang lainnya yang masih belum dapat ditemukan, terjadi di Wasior, ibu kota Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Pada Senin 4 Oktober 2010 kemarin, tanah Papua ini “dikunjungi” banjir bandang yang langsung meluluh lantakkan Wasior beserta isinya. Bencana ini berawal dari turunnya hujan deras yang mengakibatkan adanya danau dan sungai (Wasior dan Dusner) yang meluap diatas gunung, seketika itu juga air dengan ketinggian 3–5 meter mengalir deras ke pemukiman warga yang letaknya lebih rendah, menuju teluk Wondama dan menyapu rumah-rumah penduduk bak tsunami Aceh tahun 2004.

Bencana ini dikenal sebagai banjir bandang, yakni banjir di permukaan rendah yang terjadi akibat hujan yang turun secara terus-menerus dan muncul secara tiba-tiba. Banjir ini terjadi saat penjenuhan air terhadap tanah di suatu wilayah yang berlangsung dengan sangat cepat sehingga tidak lagi dapat diserap. Air yang tergenang kemudian berkumpul di kawasan berpermukaan rendah dan mengalir dengan cepat ke daerah tersebut[1]. Sepintas terlihat bahwa banjir bandang hanya bisa terjadi di kawasan gundul dimana sudah tidak terdapat hutan sebagai daerah resapan air lagi. Namun pada kenyataannya, banjir bandang Wasior terjadi di tanah Papua yang tercatat sebagai salah satu pulau dengan kawasan hutan primer dalam kondisi baik, dimana 24 juta hektar lahannya masih berhutan. Lantas apa yang memicu “objek wisata” baru ini muncul di tanah yang “tampak” begitu subur? Ada dua penyebab utama mengapa banjir bandang bisa terjadi di Wasior, yang pertama adalah kerusakan hutan dan yang kedua adalah pemekaran pemukiman.

Antara profit dan keseimbangan alam

Para neoclassical economists, akhir-akhir ini sedang “menggilai” tanah Papua. Betapa tidak, di pulau ini tersimpan begitu banyak kekayaan alam, salah satunya ialah kayu merbau yang bernilai tinggi di pasar internasional. Kayu ini merupakan tanaman endemik Papua dan bernilai tinggi karena keawetannya. Harga kayu merbau domestik saat ini berkisar Rp 6,5 juta-Rp 7,5 juta per meter kubik tergantung kualitas kayu[2]. Sedangkan di pasar internasional sendiri harganya bisa jauh lebih mahal. Neoclassical economists memandang fenomena ini sebagai suatu kesempatan yang sayang untuk dilewatkan. Seperti dalam teori permintaan, ketika demand akan suatu barang tinggi, sedangkan jumlahnya terbatas, maka harga akan bergerak naik menyesuaikan demand tersebut. Harga kayu merbau yang sedang melambung tinggi di pasar internasional ini, membuat mereka “bernafsu” mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menggundulkan hutan tanpa sistem tebang pilih. Akibatnya, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir areal hutan di Papua dan Papua Barat menyusut lebih dari 25% dari 31,5 juta hektar menjadi 23 juta hektar[3]. Analisa citra satelit tahun 2005 hingga 2009 pun menunjukkan telah terjadi deforestasi atau alih fungsi hutan seluas lebih dari 1 juta hektar atau berkisar sekitar 250 hektar per tahun di Papua Barat[4]. Penyusutan hutan tersebut terjadi akibat penebangan secara besar-besaran tanpa memperhatikan upaya memperbaikinya kembali. Pemerintah pusat telah memberikan izin bagi 20 perusahan untuk mendapatkan hak penguasaan hutan (HPH) dengan luas total 3,5 juta hektar di Papua Barat[5]. Belum lagi keputusan Meneteri Kehutanan yang akan tetap memberikan izin pelepasan 36 kawasan hutan untuk pertambangan[6]. Semua praktik penggundulan hutan tersebut belum memperhitungkan illegal logging yang dilakukan orang-orang tidak bermoral demi keuntungan semata. Mereka semua menebang hutan secara membabi buta tanpa memperhatikan keberlanjutan kelestarian hutan yang dapat menjaga keseimbangan ekosistem Papua.

Jika hasrat untuk meraih keuntungan maksimum dengan cara melakukan pembalakan liar datang dari para pengusaha, ternyata ada juga jiwa neoclassical economists dalam diri para pejabat pemerintah. Mereka berlomba-lomba melakukan pemekaran wilayah agar bisa mendapat anggaran lebih banyak untuk melakukan pembangunan “abstrak” yang entah lari kemana. Sedikitnya ada 10 kabupaten hasil pemekaran di dalam kawasan Taman Nasional Lorentz. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO. Kondisi ini juga terjadi di Suaka Margasatwa Memberano dimana lahan seluas 1,8 juta hektar yang terdiri dari 7 kabupaten kini menjadi 11 kabupaten di dalamnya. Hutan-hutan tersebut dibabat habis untuk dibuat pemukiman, jalan, lahan pertanian dan perkebunan, tanpa memperhatikan banyak flora dan fauna yang kehilangan habitatnya.

Disinilah letak kesalahan manusia yang tidak mengindahkan adanya interdependency sumber daya alam dengan lingkungan. Para neoclassical economists sudah saatnya beralih menjadi ecological economists untuk menjaga kesinambungan ekosistem di bumi ini. Secara topografi, daerah Wasior berada dekat dengan pegunungan dengan kemiringan di atas 40%, serta memiliki tingkat kerawanan terjadinya pergerakan tanah, sehingga penebangan pohon yang dilakukan dapat menambah potensi longsor dan banjir bandang di wilayah tersebut. Selain itu, hutan di Papua mampu mengubah karbondioksida (CO2) menjadi oksigen (O2) yang dapat menyuplai hidup manusia sebanyak penduduk di seluruh benua Eropa. Jika hutan ini habis, bisa dipastikan persediaan O2 kian menipis, sementara kandungan CO2 di udara semakin tebal. Gas CO2 ini pada akhirnya dapat menyebabkan global warming yang membuat cuaca menjadi sangat ekstrem akhir-akhir ini.

Kesimpulan

Bersyukur karena telah ada para ecological economists di tanah Papua. Jiwa kepedulian terhadap lingkungan ini ditunjukkan oleh dua gubernur di Papua, yakni Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Gubernur Papua Barat Abraham Autururi yang menjamin 5,4 dari 6,2 juta hektar luas hutan konservasi di Papua untuk tidak ditebang dalam upaya mencegah pemanasan global. Ratusan kasus mengenai pembalakan liar pun telah dilaporkan ke pihak berwenang. Sayangnya, hanya beberapa saja yang ditindaklanjuti, dan hanya sedikit yang dihukum sedangkan sebagian besar lainnya dibebaskan. Perlu adanya ketegasan hukum dan kejujuran dalam menangani kasus penebangan hutan ini. Karena masih banyak masyarakat yang tidak mengerti akan arti pentingnya keberlajutan sumber daya alam dan lingkungan, sehingga kasus ini sering kali disepelekan atau justru dibebaskan demi kepentingan materi semata.

Fokus dari neoclassical economics memang berbeda dengan ecological economics. Jika dalam neoclassical economics fokus utama adalah consumer sovereignty dan efficiency, dalam ecological economics pembangunan berfokus pada individual and social health serta sustainability[7]. Menurut pandangan neoclassical economics, hal-hal yang dilakukan terhadap hutan Papua memang sudah tepat. Karena penebangan saat ini memberikan nilai lebih tinggi dibanding jika menundanya beberapa tahun lagi, karena bisa saja terjadi hal-hal yang tidak terprediksi seperti jatuhnya harga kayu merbau di pasar internasional. Namun hal ini berbeda dengan pandangan ecological economics yang lebih mementingkan interdependency alam dan lingkungan. Hutan Papua seharusnya dipertahankan demi kesejahteraan manusia, flora dan fauna disana. Di hutan Papua ini tersimpan banyak tanaman endemik dan satwa-satwa langka yang dilindungi. Hutan ini juga merupakan daerah resapan air dan penyedia oksigen bagi dunia. Oleh karena itu, keberlangsungannya perlu dipelihara untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Jika tidak, bencana alam seperti banjir bandang di Wasior, bisa terjadi setiap saat dan menelan banyak korban jiwa. Betapa tidak adanya rasa kemanusiaan jika materi yang berlimpah harus ditukar dengan ratusan nyawa.

Sayangnya, sulit untuk menetapkan valuasi terhadap hutan dalam nilai moneter, padahal dengan valuasi ini pemerintah dapat melakukan cost-benefit analysis dan memutuskan program terbaik untuk hutan, baik dari segi ekonomi, maupun dari segi ekologi. Pemerintah seharusnya sudah mulai menyusun rules seperti pollution taxes atau tradable permits yang bisa dipraktikkan kepada para perusahaan pemegang HPH di Indonesia. Sistem tebang pilih saja tidak cukup, karena sulit dalam hal pemantauan dan sarat akan suap-menyuap di kalangan petugas pemantau itu sendiri.

Upaya dua gubernur di Papua untuk menyelamatkan hutan pun seharusnya diberi apresiasi oleh pemerintah pusat dan dunia internasional. Karena sesungguhnya mereka menghadapi trade off yang sangat besar ketika mengambil keputusan mulia ini. Jika ada kompensasi nyata yang diterima rakyat Papua atas upaya penyelamatan hutan ini, bisa dipastikan penebangan hutan secara illegal dan besar-besaran bisa dikurangi. Inilah tugas pemerintah dan kita semua, untuk tetap bisa melestarikan keseimbangan ekosistem tidak hanya di tanah Papua, tetapi di seluruh hutan Indonesia. Adalah pekerjaan rumah kita untuk tidak lagi membuat tanah Papua dan tanah Indonesia menangis.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Bandang.

[2] Pembalakan Liar Masih Ancam Papua, dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/10/01/22185582/Pembalakan.Liar.Masih.Ancam.Papua.-14, pada Jumat, 1 Oktober 2010 pukul 22:18 WIB.

[3] Disampaikan oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan, Darori, dalam http://www.vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=130, pada 1 Mei 2010.

[4] JK: Hentikan Penebangan Pohon di Papua, dalam http://www.detiknews.com/read/2010/10/08/135313/1459061/10/jk-hentikan-penebangan-pohon-di-papua, pada Jumat, 08/10/2010 pukul 13:53 WIB.

[5] Loc. cit.

[6] Penebangan Liar Marak Selama Reformasi, 25 Persen Hutan Papua Hilang, dalam http://www.vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=130, pada 1 Mei 2010.

[7] Michael Common dan Sigrid Stagl, Ecological Economics An Introduction (United Kingdom: Cambridge University Press, 2005) hal. 10.

Kamis, 07 Oktober 2010

Strategic Action Unilever dalam menghadapi P & G

Melihat adegan menggoda Ariel dan Luna Maya dalam iklan sabun Lux yang baru-baru ini muncul, atau pasangan awet yang membuat iri, Memes dan Addie MS dalam iklan Pond’s Age Miracle, sampai cerita keluarga harmonis yang selalu berbagi kebahagiaan dengan teh Sariwangi, mungkin hanya sebagian kecil bentuk gambaran “kesempurnaan” yang ditawarkan Unilever melalui produk-produk unggulannya. Perusahaan Eropa yang telah lama bergerak dalam bisnis home and personal care product ini, telah didirikan di Indonesia sejak tahun 1933. Maka tidak diragukan lagi jika PT Unilever Indonesia Tbk telah berhasil meraih posisi market leader di Indonesia untuk kategori produk-produk perawatan rambut, wajah dan tubuh.

Unilever Indonesia unggul dengan brand-brand andalannya dalam kategori personal care product seperti Sunsilk, Lifebuoy, Clear dan Dove untuk produk perawatan rambut, produk perawatan wajah seperti Pond’s, Citra dan Vaseline, produk perawatan tubuh dan gigi seperti Lux, Dove, Lifebuoy dan Pepsodent, serta parfum dan deodorant seperti Axe dan Rexona. Unilever juga unggul dengan brand-brand home care product-nya seperti Rinso, Molto, dan Sunlight. Keseluruhan home and care product ini merupakan 78% dari total seluruh penjualan Unilever. Sisa penjualan sebanyak 22% kemudian didapat dari food and ice cream product, seperti Sari Wangi, Blue Band, Royco, Buavita, Bango dan Wall’s[1].

Setelah lama menguasai sebagian besar pangsa pasar dalam negeri, akhirnya Unilever menemukan saingan terberatnya ketika perusahaan Amerika Procter & Gamble (P & G) masuk ke Indonesia pada tahun 1989. Dengan membawa produk-produk unggulannya yang telah diterima di pasar internasional, P & G mencoba menawarkan brand-brand ternamanya di Indonesia seperti Pantene, Rejoice, Head & Shoulders dan Olay.

Banyak strategic action yang digunakan P & G untuk memperluas pangsa pasarnya di Indonesia, antara lain dengan terus melakukan inovasi melalui team research and development-nya (R n D) yang kuat. Melalui studi kelayakan yang komprehensif dengan berpatokan pada CDI (Category Development Index), P & G berusaha untuk selalu mengikuti perkembangan dan kebutuhan pasar. Hasil R n D tersebut kemudian memberikan inovasi baru dalam product differentiation untuk merebut market share lebih banyak. Product differentiation yang dihasilkan antara lain “Rejoice 3 in 1” yang diluncurkan untuk mengakomodasi kebutuhan konsumen yang ingin serba cepat sehingga kebutuhan akan shampoo, conditioner dan creambath dapat tercukupi hanya dengan 1 jenis produk saja, selain itu ada pula “Gillette Vector Plus” yakni pisau cukur dengan dua mata pisau atau lebih untuk memberikan hasil cukur yang lebih cepat, mudah, bersih, dan merata. Bukan hanya product differentiation yang dilakukan P & G untuk meraih pangsa pasar Indonesia, tetapi mereka juga melakukan 2nd degree price discrimination, yakni strategi penentuan harga dengan mengemas produk dalam berbagai package, dari mulai kemasan sachet yang ekonomis sampai kemasan yang lebih eksklusif. Hal ini dilakukan agar seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati produk P & G tanpa terkendala oleh harga yang tinggi. Selain strategi above the line, P & G juga aktif melakukan strategi below the line–nya dengan melakukan berbagai promo produk, seperti rangkaian kegiatan keramas gratis Rejoice di mall-mall atau di tempat umum lainnya. Hasilnya setelah satu decade berada di pasar dalam negeri, P & G mampu meraih 32% pangsa pasar untuk kategori fast moving consumer product[2].

Dengan masuknya P & G dan melihat perkembangannya yang begitu pesat, Unilever tentunya tidak mau ketinggalan dan ingin tetap mempertahankan posisisnya sebagai market leader untuk produk-produk home and personal care di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, strategic action yang dilakukan unilever sangat gencar demi mempertahankan market share-nya yang saat itu hanya tinggal 60%[3].

Tidak ingin kalah dengan P & G, Unilever juga menerapkan strategi price discrimination untuk produk-produknya. Penetapan harga yang dilakukan Unilever lebih kuat karena mereka bukan hanya sekedar mengemas produknya dalam kemasan ekonomis atau eksklusif, namun mereka juga memberi nilai tambah dalam setiap kemasan tersebut. Contohnya dalam produk Pond’s, Unilever memiliki Pond’s Whitening Cream yang harganya lebih terjangkau dari Pond’s Flawless White, namun Pond’s Flawless White mengandung formula ekstra yang di-claim bisa membuat kulit putih hanya dalam 7 hari, formula inilah yang menjadi nilai tambah bagi konsumen ketika mereka membeli produk yang sama dengan harga yang lebih mahal.

Selain itu, Unilever juga tidak kalah hebatnya dalam melakukan inovasi untuk product differentiation-nya. Brand proliferation dilakukan untuk mengisi semua segmen yang ada di pasar agar tidak ada celah bagi new entrant untuk masuk ke pasar. Contohnya multiple brand dalam produk sabun mandi yang dimiliki Unilever, yakni Lux, Lifebuoy, dan Dove yang hampir menguasai 72% pangsa pasar sabun cair di Indonesia. Hasil riset MARS Indonesia (Indonesian Consumer Profile 2008) menyebutkan Lux sebagai market leader dengan perolehan market share sebanyak 39,66%. Sedangkan Lifebuoy menempel ketat di urutan kedua dengan perolehan 31,57%. Sementara Dove, menduduki peringkat keempat dengan perolehan total market share 2,88%, yang masih berada di bawah Biore yang diproduksi oleh PT Kao Indonesia dengan 10,23%. Perolehan market share yang besar untuk Lux dan Lifebuoy ini, dikarenakan Unilever telah berhasil membangun branding yang baik untuk kedua merk tersebut, yakni sabun kecantikan untuk Lux dan sabun kesehatan untuk Lifebuoy. Dengan perolehan pangsa pasar yang besar ini, sulit bagi new entrant untuk masuk ke pasar. Perusahaan yang telah ada di pasar pun hanya akan menjadi follower bagi Unilever. Mereka antara lain Gatsby, produksi PT Mandom Indonesia, Nuvo, produksi PT Wings, dan Cussons, produk andalan dari PT Cussons Indonesia.

Tidak berhenti sampai product differentiation yang paling mendekati preferensi konsumen, Unilever juga berusaha menaikkan kembali market share-nya dengan cara promosi produk melalui iklan yang sangat gencar. Persuasive dan predatory advertising merupakan strategi promosi yang digunakan Unilever untuk memperkenalkan produk-produknya kepada konsumen, menjaring konsumen baru, serta menarik kembali konsumen yang telah berpaling ke produk lain. Iklan-iklan yang dikeluarkan Unilever selalu tampil dengan konsep dan gaya baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Misalnya saat semua iklan detergen menampilkan baju yang bersih dan bebas noda, Rinso justru menampilkan anak-anak yang sedang bermain dengan bajunya yang kotor. Dengan kampanye “berani kotor itu baik”, Rinso mengajarkan anak-anak untuk tetap kreatif dalam bermain tanpa harus takut bajunya kotor, karena untuk urusan kotor, Rinso-lah yang akan menanganinya. Dalam iklan ini, jelas Unilever ingin memberikan sesuatu yang berbeda kepada konsumen. Rinso yang tadinya hanya sekedar detergen, kini brand-nya berubah menjadi detergen yang mendukung kreativitas anak-anak. Strategi iklan seperti ini, bertujuan untuk menginformasikan kepada konsumen bahwa brand-brand Unilever saat ini bukan hanya sekedar merk, tapi juga membawa misi sosial untuk pengembangan masyarakat. Selain kampanye “berani kotor itu baik” milik Rinso, Unilever juga memiliki program-program sosial lainnya seperti kampanye cuci tangan dengan sabun milik Lifebuoy, program edukasi kesehatan gigi dan mulut milik Pepsodent, program pelestarian makanan tradisional milik Bango, serta program memerangi kelaparan dan membantu anak Indonesia yang kekurangan gizi milik Blue Band. Misi-misi sosial tersebut bertujuan untuk mengajak konsumen ikut berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat sehingga mereka memiliki rasa loyalitas tersendiri terhadap brand-brand Unilever. Dengan rasa loyalitas ini, konsumen diharapkan tidak cepat berpindah kepada produk lain ketika sedang diadakan promo atau berbagai penawaran menarik lainnya.

Saat ini persaingan antara Unilever dan P & G pun semakin ketat. Hal ini terbukti dengan price war yang mereka lakukan dengan cara mem-mark down harga-harga produk unggulan mereka untuk meningkatkan market share masing-masing. Strategi ini dilakukan karena mereka sadar bahwa konsumen Indonesia sangat sensitif terhadap harga. Analis CIMB-GK Securities telah mengunjungi hypermarket, Carrefour untuk melihat langsung bagaimana perang harga kedua produsen tersebut[4]. P & G diketahui memangkas harga produk unggulannya, Pantene dan Rejoice sebanyak 26% untuk botol 200 ml dan diskon 17,5% untuk botol 180 ml Head & Shoulder. Sementara Unilever memangkas harga shampo Dove hingga 33% untuk ukuran 360 ml dan memberi hadiah 90 ml Sunsilk dan Clear untuk setiap pembelian botol 180 ml. Perang harga yang dimainkan kedua produsen ini nyatanya memang belum cukup untuk menaikkan market share mereka sampai seperti satu dekade yang lalu. Akibat banyaknya pesaing baru yang masuk pasar, seperti Wings, Kao, Cussons, Lion, dsb., market share Unilever saat ini hanya tinggal 22%-24%[5]. Dan dengan berbagai strategic action tersebut, Unilever hanya mampu menaikkan pangsa pasar sebesar 3%[6].

Meskipun pangsa pasar Unilever untuk home and personal care product saat ini telah mengalami penurunan tajam dibanding 10 tahun yang lalu, namun ternyata Unilever masih memiliki lini bisnis lain yang siap menjadi primadona di pasaran, yakni food and ice cream product. Riset menunjukkan bahwa pangsa pasar food Unilever bisa naik dari posisi sekarang 25%-26% menjadi 32%-33% dalam 4 tahun ke depan dengan produk jus dan es krim yang menjadi fokus pertumbuhan[7].

Dengan lini bisnis baru ini, nampaknya Unilever tidak perlu khawatir akan persaingan dari P & G, karena P & G belum melebarkan sayapnya sampai di kategori produk ini. Meskipun begitu, Unilever harus tetap waspada akan persaingan dari produsen-produsen lain seperti Danone, Wings, Indofood, Diamond, dsb. Strategi yang akan dilakukan Unilever untuk menghadapi persaingan dalam bisnis makanan ini tampaknya masih akan sama dengan strategi Unilever untuk memenangkan persaingannya dengan produsen home and personal care product lainnya, yakni dengan membangun brand awareness kepada konsumen melalui penyampaian misi-misi sosial yang dibawa oleh brand food Unilever. Dengan begitu konsumen diharapkan tidak hanya sekedar mengonsumsi produk-produk Unilever, namun juga turut serta dalam program pengembangan masayarakat. Melalui strategi ini pula, Unilever membuktikan bahwa perusahaannya bukan hanya menjadi produsen yang mengerti kebutuhan konsumen, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan orang banyak.



[1] Annual Report PT Unilever Indonesia Tbk tahun 2007

[2] Akbar Faizal, Ishack Rafick, dan Albert Weldison Nonto,”Rahasia Dapur Juragan Merek” (SWA No. 17/XVII/23 Agustus – 5 September 2001)

[3] Loc. Cit.

[4] Nurul Qomariyah, “Unilever dan Perang Harga dengan P&G”, (detikFinance) Senin, 07/09/2009 10:14 WIB

[5] Kim Eng, Riset per 18 Februari 2010, CLSA Asia Pacific Markets Swati Chopra, dalam Bataviase.com

[6] Katarina Setiawan, Analis PT Kim Eng Securities, dalam Bataviase.com

[7] Kim Eng, op. cit., dalam Bataviase.com

Literatur Review: Political Economy

Literature review ini membandingkan intisari dari tiga buah artikel yang membahas tentang political economy. Pertama, The Study of International Political Economy dari buku berjudul States and Markets karangan Susan Strange (London: 1994), kedua, Economic Institutions and Development: A View From the BottomA new Institutional Approach to Economic Development (New Delhi: 2001), dan ketiga, tulisan dari anak bangsa dengan judul Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia karangan Boediono dari buku dengan judul Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana? (Jakarta: 2009). Ketiga tulisan tersebut sama-sama memaparkan tentang ekonomi politik dalam kaitannya baik dengan dunia Internasional maupun negara berkembang seperti Indonesia secara langsung. karangan Oliver E. Williamson dari buku

Susan Strange memberikan pendahuluan dalam tulisannya yakni mengenai pendekatan dalam memahami international political economy secara umum dengan membuat asumsi-asumsi yang mana yang merupakan teori dan mana yang bukan. Strange mengemukakan four negative assumptions about what is not theory, yaitu pertama, teori bukan hanya sekedar deskripsi yang menggunakan kosa kata baru dan menjelaskan fenomena yang sudah diketahui orang banyak, kedua, teori tidak sekedar mendeskripsikan fakta-fakta terkenal dengan taksonomi baru, ketiga, teori bukan hanya menyederhanakan konsep-konsep yang didapat dari ilmu sosial lainnya dan terakhir, pengembangan dari teknik kuantitatif bukanlah advanced theory. Selain negative assumptions, Strange juga mengemukakan three positive assumptions about what is theory, yakni pertama,kedua, teori tidak ditujukan untuk memprediksi karena adanya kemungkinan dari luar yang tidak terhingga sehingga inilah yang membedakan antara social science dan natural science, ketiga, teori bersifat scientific teori harus bisa menjelaskan aspek-aspek dari sistem internasional yang tidak mudah dijelaskan oleh ilmu-ilmu biasa, hanya bila pencetus teori tersebut menghargai rasionalitas.

Pendahuluan yang dipaparkan oleh Boediono lebih mengarah kepada Indonesia dimana Ia mempertanyakan are we on the right track?. Ia mendahului penjelasannya dengan menyepakati apa yang dimaksud dengan the right track, baru kemudian kita bisa menjawab apakah kita on the right track.

Sedangkan Oliver E. Williamson memulai penjelasannya dengan membahas institutional economics yang sudah mengalami perkambangan namun terbatas hanya untuk negara-negara maju saja, untuk praktiknya di negara berkembang (seperti Indonesia) economic institutions masih sulit untuk dikembangkan.

The Nature of International Relations

Ada banyak literature tentang contemporary international political economy, Strange menyatakan bahwa kebanyakan dari literature tersebut mengandung dua poin penting, yang pertama ialah terlalu banyaknya dominasi dari American academics atau terlalu mengacunya asumsi-asumsi berdasarkan pengalaman atau kepentingan nasional Amerika, dan yang kedua ialah terlalu sempitnya pertanyaan tentang international political economy, yakni hanya sebatas major economic issues seperti perdagangan, investasi, neraca, nilai tukar, pasar modal dan bank internasional (West-West issues), sedangkan yang seharusnya lebih diperhatikan adalah North-South issues, dimana dijelaskan bagaimana Negara kaya menyediakan pinjaman bagi Negara miskin, atau East-West issues, dimana dibahas mengenai hubungan antara OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) countries dan Soviet bloc / CMEA (Council for Mutual Economic Assistance). Williamson juga menyepakati tentang contemporary international political economy dimana Negara-negara ex-communist seperti Eastern Europe dianjurkan untuk merubah haluannya menuju market economy, tetapi tanpa adanya institusi yang mewadahi, pencapaian kepada market economy tidak akan pernah bisa terwujud.

Kunci keberhasilan internasional politik ekonomi terletak pada banyak hal. Strange lebih menekankan hal ini kepada pemerintah, bukan rakyat. Menurutnya, internasional politik ekonomi akan maju bila adanya kepentingan yang besar dari pemerintah. Tidak cukup bila dikatakan bahwa politik memiliki porsi yang sedikit dalam ekonomi begitu pula sebaliknya (Staniland, 1985). Sedangkan Williamson dan Boediono memiliki pendapat yang sama, mereka menyatakan bahwa kunci keberhasilan internasional politik ekonomi terletak pada governance atau mutu institusi. Wiiliamson memaparkan bahwa institusi ekonomi yang baru, beroperasi dalam dua level, yaitu level makro yang berhubungan dengan institutional environment dan level mikro yang berhubungan dengan governance institutions. Menurut Boediono, seorang ahli ekonomi pembangunan kenamaan melihat demokrasi sebagai suatu meta-institution yang dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya institusi-institusi lain yang berkualitas, artinya efektif dan dengan tatakelola atau governance yang baik. Ia juga berpandangan bahwa rule of law lebih menentukan kinerja ekonomi daripada demokrasi per se.

Political Economy

Persamaan hakikat dari definisi dasar ekonomi dan politik menyebabkan kedua aspek sosial tersebut menjadi ketergantungan satu sama lain. Strange menjelaskan bahwa ekonomi, seperti kebanyakan murid tingkat pertama mengatakan, adalah tentang penggunaan sumber daya yang terbatas untuk keinginan yang tidak terbatas, sehingga akan melahirkan pertanyaan seperti apa alokasi sumber daya yang paling efisien. Dalam konteks ini, bisa dilihat bagaimana pasar berperilaku, pemerintah mengambil kebijakan terbaiknya, dan semua fungsi sistem ekonomi didasarkan pada efisiensi atau inefisiensinya mereka. Sedangkan politik berarti menyediakan kebutuhan masyarakat dan barang-barang milik masyarakat serta mengetahui institusi-institusi politik, baik yang ada di negaranya maupun yang berada di Negara lain. Kesamaan politik dan ekonomi terletak pada efisiensi, institusi ekonomi berusaha mengefisiensikan kegitannya untuk mendapatkan maximum profit dan politik berefisiensi untuk mencapai kesejahteraan public. Williamson pun berpendapat bahwa efisiensi dibutuhkan untuk mencapai tujuan dari economizing transaction cost dengan governance structures.

Dalam membangun dimensi ekonomi politik di Indonesia, Boediono menyampaikan adanya trade off antara rasionalisme dengan populisme, pemerintahan yang efektif dengan pemerintahan yang representatif, serta teknokrasi dengan demokrasi. Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang cepat, maka diperlukan keputusan-keputusan yang tidak hanya cepat, namun juga rasional, konsisten dan berwawasan jangka panjang. Tetapi mekanisme politik yang belum mantap tidak mendukung keputusan yang cepat dan decisive ini. Lain halnya dengan politics in the liberal western tradition. Strange menyatakan bahwa mereka menemukan trade off antara order and liberty dan antara security and justice. Hal ini dijelaskan dengan bureaucratic-authoritarian school yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sistem politik dan kepentingan partai di negara berkembang serta ekspansi dari kaum kapitalis pasar dan pemerataan income.

Basic Values

Untuk membentuk suatu organisasi sosial dimana akan terciptanya dimensi ekonomi politik yang pertama, Strange memaparkan bahwa ada nilai-nilai dasar yang harus disediakan oleh organisasi tersebut, yakni wealth, security, freedom and justice. Kelompok masyarakat yang berbeda akan memberikan prioritas yang berbeda pula pada keempat nilai ini. Contohnya Plato dan Hobbes menginginkan order yang lebih, Rousseau dan Marx menginginkan lebih banyak justice, Adam Smith, Maynard Keynes dan Milton Friedman mengusahakan lebih banyak wealth, serta Hayek dan John Stuart Mill ingin freedom lebih banyak, sedangkan Robinson Crusoe, seorang yang terisolir dari society, tidak memiliki masalah dengan freedom ataupun justice. Namun menurut Boediono, nilai dasar yang perlu dimiliki bangsa Indonesia untuk membangun dimensi ekonomi politiknya ialah kohesi sosial yang telah tercipta sejak dahulu. Ada bangsa yang karena sejarah, kultur homogen dan struktur sosialnya mempunyai kohesi sosial yang kuat dan tahan terhadap tekanan dan bantingan, contohnya Jepang dan Korea. Ada juga bangsa yang kurang beruntung seperti Yugoslavia dan Irak, yang memiki sejarah panjang pertikaian antar kelompok di dalamnya, sehingga begitu orang kuat pemersatunya tiada, pertikaian muncul kembali dan bangsa itu pecah. Dan untuk Indonesia sendiri, karena keberagaman kultur dan heterogenitas masyarakatnya, memiliki daya tahan yang secara intrinsik lebih rendah, sehingga harus pandai-pandai menjaga keseimbangan antara kohesi sosialnya di satu sisi dan kecepatan perubahan yang ingin dilaksanakannya di sisi lain.

Dalam Strange, dinyatakan bahwa International political economy concerns kepada keadaan saat ini, keadaan masa lalu dan keadaan di masa depan. Pada present arrangements, International political economyInternational political economy juga tidak dapat mengabaikan sebab-sebabnya yang berasal dari sejarah serta kemungkinan-kemungkinan di masa depan yang bisa diprediksi. Sedangkan praktiknya di Indonesia, Boediono memaparkan bahwa pembangunan dimensi ekonomi politik yang tercermin dalam gerakan reformasi memiliki empat tuntutan utama, yakni, perbaikan ekonomi, perbaikan tata pemerintahan atau governance, supremasi hukum dan demokrasi. memperhatikan masalah sosial, politik dan ekonomi yang dapat mempengaruhi sistem produksi global.

Power in political economy

Strange menyebutkan bahwa ada dua jenis power dalam ekonomi politik yaitu, structural power dan relational power. Structural power ialah kekuasaan untuk menentukan struktur politik ekonomi global dalam/antar negara, institusi politiknya, economic enterprises-nya, ilmuwan-ilmuwannya dan para profesional untuk menjalankannya. Sedangkan relational power dideskripsikan dengan kekuasaan A memerintah B untuk melakukan sesuatu yang tidak B inginkan. Misalnya, kekuasaan Jerman terhadap Swedia terkait ‘neutral’ territory-nya atau kekuasaan Amerika terhadap Panama terkait masalah Panama Canal. Seseorang memiliki kekuasaan ekonomi bila ia mempunyai uang yang banyak atau daya beli yang tinggi. Seseorang memiliki kekuasaan politik bila ia dapat mengendalikan suatu negara atau institusi lainnya. Namun tidak mungkin bila seseorang memiliki kekuasaan politik tanpa economic power untuk berproduksi dan mengelola capital, begitu juga tidak mungkin bila sesorang memiliki kekuasaan ekonomi tetapi tidak mempunyai political power untuk legal dan physical security. Tapi di Indonesia, Boediono menyebutkan bahwa sejarah menunjukkan keberhasilan proses transformasi menuju masyarakat yang makmur demokratis dan terbuka ditentukan oleh keberadaan kelompok pembaharu. Di Inggris, kelompok pembaharu adalah para pengusaha atau kaum borjuis yang memiliki economic power. Di Jerman, justru kaum birokrat (terdiri atas para bekas aristocrat) yang memiliki political power yang menjadi kelompok pembaharu. Di Jepang, kaum samurai-lah yang menjadi motor penggerak modernisasi. Sedangkan bagi negara berkembang seperti Indonesia kelompok pembaharu ini dapat meliputi unsur-unsur reformis dari kaum pengusaha, intelektual, profesional, birokrat, pemuda, aktivis LSM, dan lain-lain. Hal ini membuktikan untuk mencapai negara berdimensi ekonomi politik yang utuh, tidak harus dipengaruhi orang-orang yang mempunyai poltical power ataupun economic power, tetapi kaum ‘biasa’ pun bisa menjadi ujung tombak dan mengawali proses transformasi itu. Perkembangan kelompok pembaharu ini dapat dan perlu didorong dengan: (1) menjaga agar pertumbuhan ekonomi tersebar dan ditopang oleh good governance dan iklim usaha yang sehat, (2) mendorong perkembangan UKM, (3) mengupayakan penyatuan kekuatan pribumi dan non-pribumi, (4) menyediakan pendidikan bermutu, dan (5) tetap menjaga keterbukaan dan interaksi kita dengan dunia luar.

Willimson menyebutkan bahwa ada three core concepts dalam mewujudkan good governance, yaitu credible commitment, bureaucracy/bureaucratization, dan remediableness. Credible commitment artinya memiliki komitmen yang tinggi dan dapat dipercaya terhadap semua janji yang telah disampaikan, bureaucracy/bureaucratization dapat menjadi masalah/costs namun juga dapat menjadi solusi/benefits, sedangkan remediableness berarti membandingkan kinerja nyata suatu institusi dengan kinerja ideal yang diinginkan. Namun Williamson juga menyatakan bahwa remediableness merupakan konsep yang paling controversial dibanding dengan dua konsep lainnya. Sedangkan pembangunan governance di Indonesia, menurut Boediono dijalankan melalui satu konsep saja, yaitu demokrasi. Institusi yang baik menentukan keberhasilan pembangunan, dan demokrasi adalah sistem yang kondusif bagi perkembangan institusi semacam ini. Pada tahap kemajuan ekonomi yang makin tinggi, pertumbuhan ekonomi akan makin mengandalkan fleksibilitas sistem ekonomi, kemajuan teknologi, dan peningkatan mutu faktor produksi, yang semuanya bersumber pada inisiatif dan inovasi para pelaku ekonomi dan kita tahu bahwa inisiatif dan inovasi tumbuh paling subur di alam demokrasi.

Dalam Strange, Thomas Jefferson di Amerika mengatakan bahwa agriculture merupakan the basis of nationalwealth dan manajemen agriculture merupakan masalah utama dari political economy. Namun Adam Smith berpendapat lain, Ia mengatakan bahwa perdagangan dan industri-lah yang merupakan the basis of national wealth. Sedangkan Boediono dalam bukunya mengatakan bahwa masalah utama ekonomi politik ialah proses transformasi dari masyarakat berpenghasilan rendah, tertutup, dan tidak demokratis menuju masyarakat yang makmur, terbuka dan demokratis. Salah satu kristalisasi pandangan itu ialah fondasi ekonomi dari demokrasi. Intinya ialah, pada tahap awal masyarakat yang berpenghasilan rendah, tertutup dan belum demokratis seyogyanya memusatkan upaya pada pembangunan ekonomi lebih dulu.

Development and Reform

Williamson mengklasifikasikan empat jenis negara berdasarkan perkembangan ekonominya dan kondisi pemerintahan/politiknya seperti pada gambar berikut:


Economy

Developed

Developing

Polity

Above

threshold

I

II

Below threshold

III

IV

Pada sel I, suatu negara berada pada kondisi yang efisien dimana negara tersebut telah dapat dikatakan sebagi negara maju jika dilihat dari berbagai indicator seperti GDP, GDP per capita, ataupun human development index (HDI). Negara tersebut juga telah berada pada kondisi pemerintahan yang baik, terbukti dengan economic and political institutions-nya yang kinerjanya telah dapat diterima dengan jelas.

Pada sel II, negara berkembang namun telah memiliki sistem pemerintahan yang baik. Negara ini biasanya memiliki para ekonom yang tidak dimiliki oleh negara maju, sehingga praktik untuk meningkatakan kesejahteraan negara ini berbeda dengan negara maju kebanyakan. Para ekonom dapat berkonsentrasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena sistem pemerintahannya telah terkelola dengan baik.

Pada sel III, negara maju namun memiliki sistem pemerintahan yang masih buruk akibat sedikitnya dorongan untuk bereformasi. Biasanya negara seperti ini memiliki pemimpin yang otoriter dan cenderung tidak menyukai perubahan. Negara dengan sistem autokrasi ini umumnya dipimpin oleh seorang raja, sultan ataupun kaisar, namun bisa juga negara ini merupakan negara yang menerapakan sistem monoparty dimana tidak ada oposisi dari pihak lain dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

Pada sel IV, negara berkembang dan sistem pemerintahannya belum cukup baik. Di negara ini ada dorongan yang besar untuk bereformasi. Demokrasi akan berjalan sia-sia bila tidak diikuti dengan kondisi pemerintahan yang memuaskan. Dorongan untuk keluar dari sel ini sangat besar terutama untuk berpindah ke sel II. Karena mereka menganggap bahwa tata pemerintahan-lah yang harus terlebih dahulu dibenahi, baru kemudian menuju negara maju pada sel I.

Conclusion

Ketiga artikel diatas memaparkan dimensi ekonomi politik dari berbagai sudut pandang. Strange lebih menekankan International Political Economy dari sisi western countries sebagai negara maju, sehingga konsekuensinya ada beberapa hal yang tidak bisa diterapkan dalam negara-negara berkembang seperti yang dikemukakan oleh Williamson dan Boediono.

Oleh karena itu, pembangunan ekonomi politik haruslah disesuaikan dengan kultur dan keadaan ekonomi serta pemerintahan negara yang bersangkutan agar kesinambungan ekonomi politik tidak melenceng dari asas awal negara yang sudah ditetapkan dan bisa berjalan continue sesuai dengan yang diharapkan.





Bibliographical

Boediono. 2009. Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana?, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Kahkonen, Satu dan Mancur Olson. 2001. A New Institutional Approach to Economic Development. New Delhi: Vistaar Publications.

Strange, Susan. 1998. States And Markets. London: Pinter Publishers.